ruminews.id – 355 Tahun lalu, seorang hamba Allah dan sang patriot kusuma bangsa, berpulang kepangkuan penciptanya. Ialah I Malombassi Daeng Mattawang Muhammad Baqir Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana Raja Ke-16 Kesultanan Gowa-Tallo (Kerajaan Makassar). Sultan Hasanuddin lahir pada 12 Januari 1631, di wilayah kerajaan Gowa Tallo. Ia adalah putra dari Raja Gowa ke 15, I Manuntungi Muhammad Said Daeng Mattola, Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga ri Papang Batunna dan ibunya bernama I Sabbe Lokmo Daeng Takontu. Sejak kecil I Mallombassi dididik agama Islam di Madrasah Bontoala, bagian dari Kota Makassar. Sejak kecil ia sering diajak ayahnya untuk menghadiri pertemuan penting, dengan harapan dia bisa menyerap ilmu diplomasi dan strategi perang. Beberapa kali dia dipercaya menjadi delegasi untuk mengirimkan pesan ke berbagai kerjaan.
Saat memasuki usia 21 tahun, Hasanuddin diamanatkan jabatan urusan pertahanan Gowa. Ada dua versi sejarah yang menjelaskan kapan dia diangkat menjadi raja, yaitu saat berusia 24 tahun atau pada 1655 atau saat dia berusia 22 tahun atau pada 1653. Terlepas dari perbedaan tahun, Sultan Malikussaid telah berwasiat supaya kerajaannya diteruskan oleh Hasanuddin.
VOC (Veneridge Ost Indiche Compagnie) merupakan perusahaan Dagang Hindia timur yang dimiliki Kerajaan Belanda. Pasca dibebaskannya Kota Konstantinopel oleh dinasti Turki Utsmani, negara-negara eropa memulai ekspansinya dengan berbekal peta perjalanan pelaut muslim yang telah mencapai benua amerika terlebih dahulu dan asia.
22 Juni 1596 pertama kali bangsa Belanda dengan dipimpin Cornelis De Houtman mendarat di pantai merak kesultanan Banten, VOC Belanda memperluas pengaruhnya yang awalnya hanya berdagang, namun pelan2 memonopoli perdagangan, membentuk Benteng di Kota Batavia dan melakukan pembantaian di Banda Neira Maluku. VOC berencana melancarkan ekspansinya ke Timur Indonesia dengan ingin menguasai rempah-rempah.
Rempah-rempah adalah tanaman seperti pala, cengkeh, lada, dan merica. Tanaman yang menyihir fikiran bangsa eropa dalam melakukan penjajahan di negeri nusantara.
Konflik VOC dengan Kesultanan Gowa Tallo telah dimulai sejak zaman Raja Gowa ke 14 Raja Gowa ke-14 adalah Sultan Alauddin I (I Manggorai Daeng Manrabbia), yang memerintah dari tahun 1593 hingga 1639. Dimana konflik ini pula dimulai saat utusan Gowa ada yang di sanra di kapal VOC, dan Sultan Alauddin menolak tegas kemauan monopoli perdagangan VOC di wilayah kesultanan Gowa Tallo, akibatnya perlawanan dilakukan oleh Kesultanan Gowa Tallo, dilanjutkan lagi oleh Raja Gowa ke-15 adalah Sultan Malikussaid. Ia naik takhta setelah ayahnya, Sultan Alauddin, wafat pada 1639 M. Nama asli Sultan Malikussaid adalah I. Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung. Bersama Mangkubuminya Karaeng Pattingalloang.
Kisah Perjuangan Sultan Hasanuddin dimulai setelah beliau melanjutkan amanah ayahnya, menjadi Raja Gowa Tallo ke 16, Sultan Hasanuddin menjabat sebagai Raja Gowa di saat berusia 24 tahun (1655). Di Bawah kepemimpinannya Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaan. Bahkan saat itu Gowa dikenal sebagai negara maritim dan menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur.
VOC menganggap itu adalah sebuah penghalang, sehingga konflik tidak terhindari, setelah VOC mulai memblokade jalur laut kerajaan Makassar. Sultan Hasanuddin tidak diam saja. Peperangan laut dan perlawanan segera terjadi. Ibu Kota Gowa-Tallo Benteng Somba Opu merupakan bandar niaga terbesar setelah jatuhnya Malaka di tangan Portugis.
Sultan Hasanuddin memiliki Benteneg Pertahanann sebanyak 13 benteng untuk melindungi Ibukota Somba Opu, benteng ujung pandang, benteng galesong (pangkalan laut militer), benteng kale gowa, benteng anak gowa, benteng panakkukang, benteng tallo, benteng garassi, benteng sandrobone, benteng barombong, dimana rata2 benteng ini menghadap ke laut untuk mempertahakan ibu kota kerajaan Gowa Tallo.
pada saat kepemimpinan Sultan Hasanuddin Kerajaan Gowa dikenal sebagai negara maritim dan menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur. VOC berusaha melakukan monopoli perdagangan atas Kerajaan Gowa.
VOC kerap melarang orang Makassar berlayar dan berdagang rempah-rempah. Hal ini menimbulkan gangguan kebebasan perdagangan terhadap rakyat Gowa.
Terkait hal ini, Sultan Hasanuddin melakukan perlawanan karena dia menentang keras mengenai hak monopoli yang hendak dijalankan oleh VOC. Belanda ingin memonopoli perdagangan di wilayah Makassar dengan cara yang licik dan membuat masyarakat sengsara.
Kerajaan Gowa memiliki pendirian bahwa, Tuhan Yang Maha kuasa telah menciptakan bumi dan lautan. Bumi telah dibagikan di antara manusia, begitu pula lautan telah diberikan untuk umum, tidak pernah terdengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang. Jika Belanda melarang hal itu, maka berarti Belanda seolah-olah mengambil nasi dari mulut orang lain.
Dalam artian tuhan menciptakan bumi dan lautan untuk digunakan secara bersama oleh seluruh umat manusia, bukan hanya untuk VOC. Itulah sebabnya mengapa Kerajaan Gowa dengan keras menentang usaha monopoli VOC.
Bersama Karaeng Bontomarannu, Karaeng Galesong, Karaeng Karunrung, Sultan Bima, Datu Luwu La Settiaraja, Arungmatoa Wajo La Tenri Lai dan beberapa seperjuangan sultan, mereka memimpin perlawanan yang di utus Gubernur Jenderal VOC dari Batavia adalah Laksamana Cornelis Janzoon Speelman dengan kekuatan 21 kapal armada.
Sultan Hasanuddin dengan kekuatan armada laut dan meriam anak mangkasara, melakukan perang pertempuran di laut Banda, Laut Makassar, penyitaan 2 kapal Belanda De Leuwin dan De Walfish di Pulau Doang-doangang, dalam pertempuran Laut Banda salah satu perwira VOC tewas yaitu Van den Lubbers tepar pada 1664.
VOC Belanda melakukan politik adudomba De Vidide De Impera, dengan mempengaruhi kerajaan kerajaan lokal untuk melawan kesultanan Gowa Tallo.
Kerajaan Gowa pun kembali diserang oleh VOC Belanda beserta sekutunya secara bertubi-tubi, hingga akhirnya Kesultanan Gowa terdesak dan semakin melemah. Arung Palakka dan VOC mengajukan usul cease fire kepada Sultan Hasanuddin.
Akibat peperangan yang berlarut-larut banyak korban dari pihak Gowa yang gugur, hal ini membuat Sultan Hasanuddin terpaksa menerima usulan tersebut. Maka pada 18 November 1667 Sultan Hasanuddin pun menandatangani perjanjian tersebut, demi nasib rakyat Kerajaan Gowa yang semakin menyedihkan.
Melanjutkan peperangan dalam kondisi yang melemah maka dapat mendatangkan kehancuran yang lebih besar bagi rakyat Gowa. Atas hal tersebut Sultan Hasanudin merasa lebih bijaksana untuk mengadakan perdamaian dengan Belanda, perdamaian ini dinamakan ‘Perjanjian Bongaya’.
Akan tetapi ini bukan akhir perjuangan Sultan Hasanuddin, meski telah menandatangani perjanjian perdamaian tersebut, Karaeng Karunrung yang sangat membenci VOC terus mendesak Sultan Hasanuddin meneruskan peperangan dengan Belanda.
Pada 12 April 1668 peperangan kembali pecah, Sultan Hasanuddin memimpin Gowa dan Speelman memimpin pasukan VOC. Pertempuran ini jauh lebih dahsyat dibandingkan sebelumnya.
Sultan Hasanuddin menggunakan peluru beracun, sehingga pasukan VOC mengalami luka-luka. Speelman yang dianggap gagah berani merasa cemas dan jengkel, dia kemudian meminta kepada pimpinan VOC di Batavia untuk mengirimkan bantuan yang cukup untuk melawan Kerajaan Gowa.
Setelah mendapatkan bantuan, Speelman bersama pasukan merasa lebih kuat. Belanda pun melakukan serangan secara bertubi-tubi hingga benteng utama Kerajaan Gowa jatuh ke tangan Belanda.
Meski ditaklukan, Benteng Somba Opu jatuh dengan terhormat setelah pejuang-pejuang Gowa di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan yang begitu gigih.
Ada persitiwa di detik akhir mempertahankan Benteng Somba Opu, terdapan Tubarani Patang Puloa (Ksatria 40) dimana 40 jumlah prajurit Makassar yang mempertahankan Benteng Somba Opu dengan cara mengikatkan kakinya dengan bambu yang ditancapkan di tanah, hingga mereka gugur dan tidak meninggalkan medan peperangan.
Sultan Hasanuddin dikenal sebagai sosok yang tegas, berani, dan pantang menyerah. Karena karakter inilah Sultan Hasanuddin mendapatkan julukan de Haav van de Osten yang berarti Ayam Jantan dari Timur. Julukan ini diberikan oleh pihak Belanda.
Untuk menghargai dan mengenang keberaniannya, nama Sultan Hasanuddin diabadikan sebagai nama-nama fasitas umum hingga universitas di Sulawesi Selatan. Diantaranya Universitas Hasanuddin, Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Kodam XIV/Hasanuddin, KRI Sultan Hasanuddin, dan nama jalan di berbagai daerah di Sulawesi Selatan.
“Sesungguhnya karena kesabaran rakyatku bersedia memberikan apa yang mereka inginkan dalam perjanjian Bongaya melalui aku, tapi mereka menghendaki jantungku, dan hati ini adalah martabat setiap manusia,“ kata sultan Hasanuddin saat akan menyetujui perjanjian Bongaya. Dimana ia harus menyerahkan kekuasaan Gowa Tallo dan sebagian wilayah sampai ke australia barat ke VOC.
Bugis-Makassar adalah Saudara, aku dan Raja Bone bukanlah Musuh” kalimat terakhir yang diucapkan Sultan Hasanuddin kala hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam keadaan sujud disaksikan seluruh penghuni benteng Somba Opu waktu itu.
Kita semua saudara, sipakatauki…saling memanusiakanlah sipaikainge’ki, saling mengingatkanlah, sipakalebbi’ki…saling menghargailah. siri’ na pacce, lebih baik mati dengan kehormatan daripada hidup menanggung malu. Terus tegakkan kebenaran untuk kemaslahatan umum tanpa pandang bulu, apapun yang terjadi sebagai sosok “Towarani”, ksatria pemberani yang sesungguhnya (Pesan Sang Ayam Jantan Dari Timur di detik-detik akhirnya). Beliau wafat 12 Juni 1670 di Somba Opu tepat 355 tahun yang lalu dengan gelar anumerta Tumenanga Ri Balla Pangkana (wafat di rumah kebesarannya)
Sehingga dalam tulisan ini, Penulis Muhammad Arsyi Jailolo Daeng Mattawang, berharap agar kita mewarisi semangat Sultan Hasanuddin sang Jangang Lakiya Battu Iraya dan juga para pendahulu-pendahulu Bangsa Bugis Makassar. Generasi Muda Sulawesi Selatan dimanapun berada agar selalu mengingat dan pantang menyerah menghadapi situasi apapun di tanah rantau, serta harus selalu bermanfaat kepada sesama, sesuai filosofi Poko’ (Pohon) dan Butta (tanah) bermanfaat dan menumbuhkan Kehidupan.
Penulis
Muhammad Arsyi Jailolo Daeng Mattawang