OPINI

Kritik atas Tafsir Tradisional dalam Islam

ruminews.id – Dalam wacana keislaman kontemporer, tafsir tradisional sering kali dianggap sebagai otoritas tunggal dalam memahami wahyu. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, muncul kritik terhadap pendekatan ini yang dinilai terlalu rigid dan kurang responsif terhadap konteks kekinian. Tafsir tradisional, yang banyak dipengaruhi oleh konteks sosio-historis abad pertengahan, dianggap tidak selalu relevan dengan tantangan modern. Oleh karena itu, menggugat otoritas tafsir tradisional bukanlah upaya untuk meruntuhkan Islam, melainkan untuk membuka ruang dialog yang lebih dinamis antara teks suci dan realitas kontemporer.

Salah satu ayat Al-Qur’an yang sering menjadi landasan bagi kritik ini adalah QS. Al-Hadid ayat 17: “Ketahuilah bahwa Allah menghidupkan bumi setelah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepadamu agar kamu memikirkan.” Ayat ini menekankan pentingnya pemikiran kritis dan refleksi dalam memahami wahyu. Pesan revolusioner dari ayat ini adalah bahwa wahyu tidak dimaksudkan untuk diterima secara pasif, melainkan untuk digali, dipikirkan, dan diaktualisasikan sesuai dengan konteks zaman. Ini membuka pintu bagi reinterpretasi yang lebih progresif terhadap teks suci.

Dalam konteks ini, pemikiran pembaruan dari tokoh seperti Fazlur Rahman layak untuk dipertimbangkan. Rahman menawarkan metode “double movement” dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu dengan memahami pesan moral universal dari teks (yang bersifat timeless) dan kemudian menerapkannya dalam konteks kekinian. Pendekatan ini memungkinkan tafsir yang lebih fleksibel dan relevan, tanpa mengorbankan esensi wahyu. Rahman menegaskan bahwa tafsir tradisional sering terjebak dalam literalisasi yang mengabaikan dimensi historis dan sosiologis teks.

Selain Rahman, pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd juga patut diperhitungkan. Abu Zayd menekankan pentingnya memahami Al-Qur’an sebagai sebuah teks yang hidup (living text), yang harus dibaca dalam konteks kebudayaan dan bahasa yang melingkupinya. Menurutnya, tafsir tradisional sering kali mengabaikan aspek linguistik dan kultural, sehingga menghasilkan pemahaman yang statis dan ahistoris. Dengan pendekatan ini, Abu Zayd mengajak umat Islam untuk melihat Al-Qur’an bukan sebagai dokumen mati, melainkan sebagai sumber inspirasi yang terus berkembang.

Kritik terhadap tafsir tradisional bukanlah upaya untuk merendahkan warisan intelektual Islam, melainkan untuk memperkaya khazanah pemikiran keislaman. Dengan membuka ruang bagi tafsir yang lebih kontekstual, umat Islam dapat merespons tantangan modern tanpa kehilangan akar spiritualnya. Hal ini sejalan dengan semangat Al-Qur’an yang mengajak manusia untuk terus berpikir dan berefleksi.

Dengan demikian, menggugat otoritas tafsir tradisional adalah langkah penting dalam menghadapi kompleksitas dunia modern. Melalui pendekatan yang lebih dinamis dan kontekstual, umat Islam dapat menemukan relevansi wahyu dalam kehidupan sehari-hari, tanpa terjebak dalam rigiditas pemikiran masa lalu. Ini adalah panggilan untuk terus memperbarui pemahaman kita terhadap teks suci, sambil tetap menjaga kesucian dan otentisitasnya.

Share Konten

Opini Lainnya

IMG-20251031-WA0036
Ketika Kampus Membisu: Intelektual yang Gagal Mengawal Demokrasi
01aa9051-a6d6-4d85-abeb-0f6ba9774463
Refleksi Yuridis ; “Paradoks di Perbukitan/Pegunungan Bagian Barat Daya Sulawesi Selatan, yang Kehilangan Bentuknya”
e785f272-3514-4e03-8b1d-05350fe81bb4
Menakar Kelayakan Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional
ef274a99-95b3-4e25-accb-ff05e464e99c
Feodalisme Berkedok Adab
221cd4eb-6f25-4ba3-8c4d-1728ad9cd5b1
Sedang Menghabiskan Jatah Kalah
IMG-20251026-WA0117
Estetika Pembelajaran Seni: Melampaui Keterampilan Menuju Penemuan Diri
IMG-20251101-WA0000
Perdagangan Kewarganegaraan
IMG-20251031-WA0036
Cicero Bangkit di Negeri Para Penjilat
IMG-20251031-WA0037
Kampus, Ideologi, dan Kebebasan Akademik: Refleksi atas Wajah Muhammadiyah di Ranah Pendidikan Tinggi
IMG-20251028-WA0042
Sumpah Pemuda Narasi Titik Temu
Scroll to Top