OPINI

Indonesia Emas 2045: Antara Mimpi dan Realita (Dialog Imajiner)

ruminews.id- Di sebuah warung kopi pinggir jalan, lampu neon berkedip-kedip, seolah bingung apakah harus tetap menyala atau menyerah. Malam terasa lebih hangat dari biasanya, entah karena udara yang makin panas atau perbincangan yang mulai memanas.

Di salah satu sudut warung, duduklah Pak Tua, seorang pensiunan yang sudah kenyang makan asam garam kehidupan. Di depannya, tiga anak muda dengan semangat membara: Adhi, mahasiswa filsafat yang suka mengutip buku tebal tapi dompetnya tipis; Yanti, aktivis lingkungan yang tiap hari demo tapi tetap bingung kenapa perubahan iklim makin parah; dan Farid, pengusaha startup yang percaya bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan aplikasi—kecuali sinyal yang lemot.

Sambil menikmati kopi hitam yang kini harganya lebih mahal dari emas, mereka memulai obrolan tentang Indonesia Emas 2045.

Adhi menyeruput kopinya, lalu menatap jauh ke langit seolah sedang berdialog dengan para filsuf besar.

“Wah, kita sudah di tahun 2045! Indonesia sudah 100 tahun merdeka! Pasti sekarang udah jadi negara maju, kan?” katanya penuh optimisme.

Pak Tua menyandarkan punggungnya, tersenyum kecil sambil mengaduk kopinya yang mulai dingin.

“Oh tentu! Kita sangat maju. Macetnya sudah berteknologi tinggi, polusinya kelas dunia, dan birokrasi masih punya jurus ninja baru!”

Yanti, yang sejak tadi scrolling berita di ponselnya, menghela napas panjang.

“Tapi katanya Indonesia bakal jadi negara ekonomi terkuat?”

Pak Tua mengangguk dramatis. “Betul! Kita kuat… kuat menanggung utang! Sekarang bayar pajak aja sudah setara harga satu porsi nasi goreng di restoran mewah. Bedanya, kalau nasi goreng masih bisa bikin kenyang, pajak? Hmm…”

Farid, yang selalu optimis dengan teknologi, mencoba melihat sisi positifnya.

“Tapi kan kita udah punya IKN, ibu kota baru! Smart city! Green city!”

Pak Tua menepuk pundaknya pelan. “Iya, betul! IKN itu luar biasa. Katanya mau jadi kota hijau, dan memang terbukti… pas banjir, airnya hijau juga!”

Adhi kembali menyeruput kopinya, lalu mengangguk penuh keyakinan.

“Sekarang semua serba AI. Katanya manusia bakal hidup lebih santai karena semua pekerjaan diambil alih robot?

Pak Tua terkekeh. “Oh iya, manusia sekarang lebih santai… santai nunggu panggilan kerja yang nggak pernah datang! Dulu orang takut AI bakal menguasai dunia, sekarang mereka takut AI-nya cuma dipakai buat ngelamar kerja tapi tetap ditolak.”

Yanti, yang masih berusaha mencari sisi positif dalam segalanya, bertanya dengan penuh harap.

“Tapi minimal kita udah lebih ramah lingkungan, kan?”

Pak Tua mengangguk cepat. “Oh tentu! Sekarang sampah kita bukan cuma ada di darat, laut, dan sungai, tapi juga di orbit luar angkasa! Kita benar-benar global!”

Farid, yang selalu optimis pada inovasi, tersenyum percaya diri.

“Tapi politik kita udah canggih! Demokrasi digital!”

Pak Tua kembali mengaduk kopinya dengan santai.

“Iya, sekarang pemilu tinggal sekali klik. Masalahnya, janji kampanye juga tinggal sekali klik… dihapus dari ingatan!”

Adhi mengernyit. “Tapi pasti ada kemajuan, kan?”

Pak Tua mengangkat bahu. “Jelas ada! Jalan tol makin panjang, tarifnya makin mahal, dan bahan bakar makin langka. Semua berjalan sesuai rencana!”

Yanti akhirnya bertanya dengan nada serius. “Jadi menurut Pak Tua, Indonesia Emas ini mimpi atau kenyataan?”

Pak Tua menatap mereka satu per satu. Lalu, dengan suara pelan tapi menusuk, ia berkata:
“Indonesia Emas itu kayak cinta dalam sinetron: banyak janji, penuh drama, dan ending-nya tergantung rating. Kalau rakyatnya optimis dan mau kerja keras, bisa jadi nyata. Tapi kalau masih sibuk debat di media sosial, lupa inovasi, dan korupsi masih jadi hobi… ya kita emas-emas-an aja. Alias… kaleng-kalengan.”

Farid mengangguk pelan. “Jadi solusinya apa, Pak?”

Pak Tua menarik napas panjang, lalu menjawab dengan suara tenang:

“Kurangi janji, perbanyak aksi. Jangan sibuk ribut, tapi sibuk berkarya. Dan yang paling penting… bayar pajak dengan ikhlas!”
Hening sejenak.

Lalu mereka semua tertawa—entah karena setuju, entah karena tak tahu harus bagaimana lagi.

Dan di tengah malam yang mulai dingin, di bawah lampu warung kopi yang masih berkedip-kedip, mereka kembali menyeruput kopi masing-masing sambil menatap jauh ke arah masa depan yang masih samar-samar.

Tamat.

#DialogImaginer

Share Konten

Opini Lainnya

b6460e08-cba5-4b7d-8479-02ce12854cb4
Membongkar Ilusi Pembangunan dalam Program Satu Juta Rumah dan Urbanisasi Kota Makassar
d3553628-3ec5-4e49-82eb-a01620c46b8b
Kampus Adalah Arena, Pilih Cara Bermain Mu
3c7b0ea5-4e5a-43a4-95e0-0383cc642453
Bahasa Kekuasaan di Era Prabowo: Politik Tutur dan Disiplin Wacana
07fca8cd-2d90-4c07-b3b0-cb7cf645a0bf
Sejarah Pembersihan Etnis Di Palestina
WhatsApp Image 2025-11-12 at 23.18
Hari Kesehatan Nasional: Alarm dari Luka Para Tenaga Kesehatan
WhatsApp Image 2025-11-12 at 23.19
HKN 2025: Cita Transformasi Kesehatan Dengan Enam Pilar Yang Rapuh
f874040f-0065-4663-aa63-45a87f3ccb03
MBG dan Sekolah Rakyat, Simbol Generasi Sehat dan Mempersiapkan Masa Depan
e766f7f9-d936-415d-9602-5f78f2edb292
Pahlawan Palsu di Balik Kisah Cinta Kerajaan
58d3f0d4-36aa-46dd-a0f4-5e42f2c545a0
Cara Mengatasi Sulit Tidur: Belajar Menyerahkan Kendali Agar Otak Dan Jiwa Bisa Seimbang Alami
IMG-20251031-WA0036
Hukum di Punggung Kekuasaan: Ketika Keadilan Menjadi Bayangan dari Kuasa
Scroll to Top