OPINI

Kerusakan Lingkungan dan Kerentanan Perempuan

ruminews.idPada penghujung tahun, publik menengok kembali rangkaian peristiwa yang membentuk perjalanan bangsa. Di titik refleksi itu, kerusakan lingkungan kembali menegaskan dirinya sebagai persoalan yang belum selesai. Ketika Pulau Sumatera berulang kali berubah menjadi cekungan air, rumah terendam, jalan terputus, dan anak-anak terpaksa belajar di tenda pengungsian. Narasi kemanusiaan kita kerap berhenti pada angka korban, distribusi bantuan, dan janji pemulihan. Padahal, di balik itu semua, tersimpan pertanyaan mendasar: bagaimana kerusakan lingkungan membentuk ulang relasi sosial, ekonomi, dan politik, khususnya terhadap perempuan Indonesia..

Menurut catatan BNPB, sepanjang 2024 hingga 2025, bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem mendominasi lebih dari 95 persen kejadian bencana di Indonesia. Pada 2024 saja tercatat lebih dari 5.000 kejadian bencana, dengan banjir sebagai penyumbang terbesar. Memasuki 2025, tren tersebut berlanjut dengan banjir besar dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Jutaan penduduk terdampak langsung, ratusan ribu harus mengungsi, dan kelompok perempuan serta anak-anak menjadi proporsi terbesar di lokasi pengungsian. Data BNPB menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen pengungsi dalam bencana banjir 2024–2025 adalah perempuan dan anak, memperlihatkan dengan jelas dimensi gender dari krisis lingkungan.

Namun, angka-angka tersebut baru menggambarkan lapisan terluar krisis. Di ruang pengungsian, dapur umum, sekolah darurat, dan antrean bantuan, dampak bencana menjelma menjadi pengalaman sosial yang jauh lebih kompleks. Perempuan tidak hanya kehilangan rumah dan sumber penghidupan, tetapi juga menghadapi peningkatan beban kerja domestik, tanggung jawab pengasuhan, serta tekanan psikososial yang berlapis. Dalam banyak kasus banjir besar sepanjang 2024–2025, perempuan harus memastikan ketersediaan pangan, air bersih, dan kesehatan keluarga di tengah keterbatasan akses dan fasilitas. Pada saat yang sama, suara dan pengalaman mereka jarang dihadirkan dalam perumusan kebijakan kebencanaan dan lingkungan.

Indonesia memang berada dalam lanskap risiko yang tinggi. Letaknya di Cincin Api Pasifik berpadu dengan tekanan pembangunan dan alih fungsi lahan yang masif. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)menunjukkan tren peningkatan kejadian bencana dalam satu dekade terakhir. Jumlah peristiwa banjir meningkat dari sekitar 600 kejadian pada 2020 menjadi lebih dari 1.200 kejadian pada 2025. Dalam periode yang sama, lebih dari 30 persen daerah aliran sungai utama di Sumatera dan Kalimantan berada dalam kondisi kritis. Penurunan daya serap air, rusaknya hutan, serta ekspansi kawasan terbangun memperbesar risiko banjir dan longsor. Dalam konteks ini, bencana tidak dapat dilepaskan dari pilihan pembangunan. Sayangnya, kebijakan mitigasi dan adaptasi iklim masih cenderung netral gender, seolah-olah dampak bencana dialami secara setara oleh seluruh warga.

Perspektif gender menjadi krusial karena dampak bencana tidak pernah terdistribusi secara adil. Dalam struktur sosial Indonesia, perempuan masih memikul peran utama dalam kerja perawatan yang tidak dibayar, mulai dari pengelolaan pangan, air, kesehatan keluarga, hingga pengasuhan anak dan lansia. Ketika bencana terjadi, beban ini meningkat tajam. Pada bencana banjir besar 2024–2025, banyak perempuan kehilangan sumber pendapatan informal, sementara tuntutan domestik justru meningkat. Akses perempuan terhadap bantuan, informasi, dan layanan dasar sering kali terhambat oleh desain kebijakan yang tidak mempertimbangkan kebutuhan spesifik berbasis gender.

Kerusakan lingkungan juga berkorelasi dengan meningkatnya risiko kekerasan berbasis gender. Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2025 menunjukkan tercatat 330.097 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan pada 2024, meningkat lebih dari 14 persen dari tahun sebelumnya, sebuah tren yang kian relevan ketika krisis sosial akibat bencana membuat perempuan semakin rentan. Dalam situasi bencana, kerentanan ini semakin menguat. Pengungsian yang padat, minim penerangan, kurangnya ruang aman, serta tekanan ekonomi pasca bencana meningkatkan risiko kekerasan seksual, eksploitasi, dan kekerasan dalam rumah tangga. Berbagai laporan lapangan pada bencana banjir 2024–2025 menunjukkan bahwa perempuan dan anak perempuan menghadapi ancaman berlapis yang belum sepenuhnya terakomodasi dalam sistem respons kebencanaan.

Banjir dan bencana ekologis lain pada periode 2024–2025 juga memperlihatkan dampak jangka panjang terhadap pendidikan dan kesehatan perempuan. Ribuan sekolah rusak atau terpaksa menghentikan kegiatan belajar, sementara fasilitas kesehatan kewalahan. Perempuan, khususnya ibu dan remaja putri, menghadapi keterbatasan akses layanan kesehatan reproduksi, sanitasi layak, dan kebutuhan spesifik lainnya. Situasi ini tidak hanya berdampak pada kondisi saat bencana, tetapi juga pada keberlanjutan kualitas hidup perempuan dalam jangka panjang.

Pada akhir tahun ini, semakin terlihat bahwa pendekatan kebijakan masih bertumpu pada respons darurat dan pembangunan fisik. Padahal krisis yang dihadapi bersifat struktural dan jangka panjang. Pemerintah telah menegaskan pentingnya pengarusutamaan gender dalam seluruh fase penanganan bencana, dari mitigasi hingga pemulihan. Ini mencakup sistem peringatan dini yang inklusif, akses layanan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi, penyediaan ruang aman di pengungsian, serta keterlibatan perempuan dalam perencanaan kebijakan. Tantangannya adalah memastikan komitmen tersebut hadir secara konsisten di lapangan, bukan berhenti pada level regulasi.

Rencana Aksi Nasional tentang Gender dan Perubahan Iklim 20242030 memberi kerangka penting dengan menegaskan bahwa adaptasi iklim tidak akan efektif tanpa pemberdayaan perempuan. Relevansinya menjadi nyata ketika kerusakan lingkungan. Banjir berulang, degradasi hutan, dan rusaknya ekosistem terbukti memperbesar kerentanan sosial perempuan di wilayah terdampak. Dokumen ini menempatkan perempuan sebagai aktor strategis dalam ketahanan iklim, bukan sekadar penerima dampak. Namun, seperti banyak kebijakan lingkungan lainnya, tantangan utama terletak pada implementasi lintas sektor dan keberlanjutan anggaran, terutama agar perspektif gender benar-benar hadir di lapangan, bukan berhenti di tingkat perencanaan.

Dalam konteks kebijakan publik, sejumlah langkah strategis menjadi semakin mendesak. Integrasi data lingkungan dengan data sosial terpilah gender diperlukan agar kebijakan tidak berhenti pada hitungan kerugian materi. Layanan esensial termasuk kesehatan reproduksi dan ruang aman harus menjadi standar minimum dalam setiap penanganan bencana. Program pemulihan ekonomi pasca bencana perlu menempatkan perempuan sebagai aktor utama, didukung pendidikan dan literasi yang menjadikan perempuan dan anak-anak sebagai subjek. Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat lokal maupun nasional, harus diperluas secara bermakna.

Kerusakan lingkungan di Indonesia bukan semata persoalan cuaca dan infrastruktur, melainkan persoalan keadilan sosial. Banjir Sumatera di penghujung tahun ini menjadi refleksi dari persoalan yang lebih besar sebuah lampu merah di tengah jalan pembangunan nasional yang menunjukkan bahwa tata kelola lingkungan dan kebijakan publik yang mengabaikan perspektif gender akan selalu timpang. Dalam situasi ini, perempuan menanggung dampak paling berat, tetapi justru paling sedikit dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Jika pengalaman perempuan tidak dijadikan salah satu dasar perumusan kebijakan, maka ketahanan iklim hanya akan berhenti sebagai jargon pembangunan.

Oleh karena itu, kerusakan lingkungan harus dipahami sebagai persoalan keadilan sosial yang menuntut perubahan cara pandang dan kebijakan. Bencana ekologis yang berulang pada 2024–2025 menjadi peringatan bahwa pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan lingkungan dan perspektif gender akan terus melahirkan krisis. Perempuan tidak boleh terus diposisikan hanya sebagai korban dalam statistik bencana, melainkan harus diakui sebagai subjek kebijakan dan bagian dari solusi. Tanpa menjadikan pengalaman dan pengetahuan perempuan sebagai dasar perumusan kebijakan lingkungan dan kebencanaan, upaya membangun ketahanan iklim yang adil dan berkelanjutan akan selalu timpang.

Share Konten

Opini Lainnya

9aa2461c-5f63-476c-8fc0-6250648b7d52
Siapa yang Menentukan Awal Tahun?
017936f7-7771-4e59-95a1-0565a635766d
Polemik Pilrek Unhas dan Kesalahpahaman tentang Marwah Akademik
8e3d92eb-5dab-4f49-b503-f7eb5d3a75dd
Endgame Tanpa Thanos: Ketika Ekonomi Kita Menjentik Alam Sendiri.
99255f33-0946-4330-b3ed-625ec5e65321
Transformasi Pendidikan: dari Sekelumit Masalah Struktural Menjadi Lebih Humanis
7a991a95-74ba-4865-9d20-fe13552dabb1
PeduliNomic: Menakar Euforia di Tengah Duka Bangsa
017936f7-7771-4e59-95a1-0565a635766d
Kritik di Pilrek Unhas: Bukan Menepuk Air, Melainkan Menguji Kedalamannya
98691a36-f922-4de4-ae0e-0024496607ae
Dialog yang Tak Menjawab: Mahasiswa Membaca Arah Kepemimpinan Tiga Calon Rektor Unhas
abda3364-2460-49b6-ba76-993c92f9e6f3
Homo Ludens di Balik Joystick
017936f7-7771-4e59-95a1-0565a635766d
Lucu! Ketika Klarifikasi Sepihak Diposisikan sebagai Kebenaran
017936f7-7771-4e59-95a1-0565a635766d
Kampus Bukan Zona Bebas Kritik
Scroll to Top