ruminews.id, Lombok – Di balik gemuruh mesin balap yang menggetarkan aspal Sirkuit Mandalika, tersimpan kisah lain yang tak kalah menggetarkan: bukan tentang adrenalin dan kejayaan, melainkan tentang tanah yang digali diam-diam, menyembunyikan kilauan emas yang menguap tanpa jejak ke kas negara.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyingkap tabir itu. Dalam sebuah perjalanan ke jantung Pulau Lombok, lembaga antirasuah ini menemukan aktivitas tambang emas ilegal yang tak sekadar kecil-kecilan, melainkan beroperasi dalam skala besar dan hanya berjarak satu jam dari kawasan megah Mandalika.
Kepala Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK, Dian Patria, tak dapat menyembunyikan keterkejutannya.
“Saya baru tahu, tidak menyangka di Pulau Lombok, sekitar satu jam dari Mandalika, ada tambang emas besar. Produksinya luar biasa,” ujarnya dengan nada heran, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa (21/10/2025).
Dari hasil pantauan di lapangan, satu titik tambang di kawasan Lombok Barat disebut mampu menghasilkan tiga kilogram emas setiap hari, angka yang menggetarkan nurani. Setiap butiran emas yang keluar dari perut bumi itu seolah membawa pesan getir: bahwa kekayaan alam Nusantara kerap digali tanpa izin, tanpa kendali, dan tanpa kepedulian terhadap bumi yang kian terluka.
“Dan ternyata di Lombok banyak lokasi tambang ilegal lain,” ungkap Dian lagi, seolah menegaskan bahwa luka itu bukan satu, melainkan menjalar seperti penyakit yang lama dibiarkan.
Kini, KPK bergerak tak sendiri. Lembaga itu menggandeng berbagai instansi untuk menindaklanjuti temuan tersebut sebuah langkah sinergi agar hukum tak hanya menjadi teks, melainkan tindakan nyata.
“Bisa jadi ada pelanggaran di bidang kehutanan, lingkungan, atau perpajakan. Kami dorong pihak berwenang menegakkan aturan,” tegas Dian.
Di tanah yang dahulu dikenal dengan pesona pantai dan perbukitannya yang menawan, kini terhampar ironi: emas yang seharusnya menjadi berkah, justru menjadi sumber keserakahan.
Mandalika tetap berkilau di mata dunia dengan balapannya yang megah, tapi hanya sejengkal di baliknya, bumi Lombok menjerit pelan digerus dari dalam, satu sekop demi satu sekop, demi kilauan yang tak pernah cukup memuaskan manusia.