OPINI

Cross-Media dan Perubahan Perilaku Audiens di Era Digital Dari Penonton Menjadi Produser: Peran Cross-Media dalam Membentuk Audiens Modern

ruminews.id – Era digital menuntut media dan audiens berinteraksidi berbagai platform secara serentak. Istilah cross-media menggambarkan pendekatan terintegrasi di mana komunikasi atau produksi melibatkan dua atau lebihplatform media secara simultan. Dalam praktiknya, media tradisional tidak lagi berdiri sendiri; merekamembangun ekosistem multiplatform di mana kontenyang sama dipublikasikan lewat radio, televisi, situs web, aplikasi, dan media sosial. Pendekatan ini lahirdari fenomena konvergensi media: aliran konten lintasmedia dan perubahan perilaku khalayak yang kiniberselancar hampir ke mana sajauntuk mencarihiburan atau informasi. Artikel ini membahas konsepcross-media, bagaimana industri media modern menerapkannya, dan dampaknya terhadap cara audiensmengonsumsi informasi, termasuk pergeserankebiasaan, ekspektasi, dan keterlibatan audiens.

Konsep Cross-Media

Secara sederhana, cross-media berarti menyajikankonten yang saling terhubung pada berbagai kanalmedia. Pandan Yudhapramesti menjelaskan bahwa konsep ini muncul ketikadua atau lebih platform media terlibat secara terintegrasi”, artinya setiap kanalberbicara satu sama lain”. Misalnya, sebuah beritadapat ditayangkan di televisi, kemudian dipublikasikandi situs web, disertai cuplikan video di media sosial, dan dirangkum dalam newsletter via email. Strategi inisudah dikenal sejak internet berkembang pesat, karenamemungkinkan konten berpindah dan dikonsumsi di lintas platform. Konvergensi yang lebih luas bahkan meliputi kolaborasi antar industri media, sehingga sebuah merek atau cerita bisa dimanfaatkan dalam cetak, radio, televisi, daring, hingga media sosial secarabersamaan.

Praktik Industri Media Modern

Media modern menerapkan cross-media denganmengintegrasikan tim dan platform. Di ruang redaksikontemporer, proses produksi berita kini harus lintasmedia (cross-media approach) yaitu menggabungkanteks, gambar, audio, dan video secara bersamaan. Misalnya, seorang jurnalis tidak hanya menulis artikel, tetapi juga membuat video pendek, infografis, atauunggahan media sosial untuk platform berbeda. Hal inimenuntut wartawan menguasai keterampilanmultiplatform, termasuk pengelolaan media sosial dan data analitik.

Contoh nyata praktik cross-media adalah transformasiRadio Republik Indonesia (RRI) Denpasar. Untukprogram Pro 2 Kreatif Jalan-Jalan, RRI menjalankan konten secara serempak di berbagai kanal: siaran radio teresterial, aplikasi RRI Digital, situs web resmi, siaranlive YouTube, serta Instagram dan Facebook Live. Dalam satu siklus produksi mingguan, tim RRI merencanakan agenda, memproduksi konten, lalu mendistribusikannya ke semua platform tersebut. Pendekatan ini dirancang untuk memperluas jangkauanaudiens dan meningkatkan interaktivitas. RRI menyadari bahwa media sosial bersifat partisipatif, sehingga dengan masuk keruang-ruang digital” dapat menangkap audiens baru dan “meningkatkan keterlibatan publik”. Pada akhirnya, konten yang semula hanya berbentuk audio radio, juga dinikmati sebagai video di YouTube atau rangkaian cerita di Instagram, memperkuat brand media tersebut di era digital.

Praktik serupa juga kita lihat di perusahaan media besar lain. Misalnya, surat kabar mengelola situs web berita dan akun media sosialnya, televisi membuat klipberita untuk platform streaming, atau studio film mempromosikan film melalui game interaktif dan aplikasi. Intinya, berbagai konten dibuat sedemikianrupa agar dapat tersebar dan saling melengkapi antar-platform, alih-alih dikurasi secara terpisah. Strategi seperti ini membawa efisiensi biaya sekaligus menjagarelevansi media di mata audiens yang kini aktif di banyak kanal.

Pergeseran Kebiasaan dan Ekspektasi Audiens

Perubahan teknologi digital memaksa audiensmengubah kebiasaan konsumsi informasi. Data terkini menunjukkan Indonesia memiliki 212 juta pengguna internet, di mana 95,9% mengakses berita lewat gawai seluler dan 61,7% utama menggunakan media sosial sebagai sumber informasi. Rata-rata, masyarakat online 7,4 jam per hari. Angka-angka ini mencerminkan bahwa audiens tidak lagi sekadar pasif menerima siaranlinear; mereka aktif mencari berita dan hiburan sesuai kebutuhan.

Akibatnya, audiens sekarang lebih selektif dan menjadi prosumers (producer-consumer) yang takhanya mengonsumsi, tetapi juga memodifikasi dan membagikan konten secara langsung. Transformasi initercermin pula pada jenis konten yang diminati. Sebagaimana diteliti Fauziah dkk. (2025), “audiens kinicenderung memilih konten yang cepat, ringkas, visual, dan dapat diakses secara mobile kapan saja”. Media yang dulunya satu arah (misalnya TV atau cetak) kinidituntut menyajikan berita dengan format yang menarikperhatian dalam hitungan detikmisalnya video pendek, grafis, atau cerita bergulir (stories) di media sosial. Jika dulu seorang penonton menunggu siaranberita, sekarang mereka men-scroll berita seketikamuncul di beranda.

Ekspektasi baru audiens juga meliputi akses kapansaja dan di mana saja. Mereka mengharapkan informasireal-time dan personalisasi sesuai minat. Misalnya, jikasebuah stasiun radio menyediakan aplikasi streaming dan rekaman podcast, audiens dapat mendengarprogram favoritnya di luar jam siaran. Jika surat kabarmemiliki akun Twitter, pembaca dapat mengikutiperkembangan berita peristiwa live. Dengan kata lain, audiens tak terpaku pada jadwal biasa; merekaingin mengonsumsi konten sesuai tempo dan preferensi sendiri. Konsekuensinya, audiensmenginginkan kendali lebih besar atas pengalamanbermedia mereka.

Selain itu, keterlibatan audiens meningkat. Media sosial memudahkan audiens mengomentari, membagikan, atau bahkan membuat ulang (repost) konten. Audiens menjadi bagian aktif dalam siklus komunikasi massa. Budaya partisipasi ini mendorongmedia untuk menyediakan konten yang interaktifmisalnya polling di Instagram, diskusi live streaming, atau ruang komentar yang responsif. Semakin seringmedia merangkul audiens sebagai kolaborator(misalnya mengundang pengikut menyumbang ide ataukonten), semakin kuat engagement yang tercipta. Transformasi ini sesuai observasi Yodiansyah dkk yaituaudiens modern memang berperan sebagai prosumeryang aktif dalam menyebarkan dan memproduksiinformasi, sehingga pola komunikasi lama (komunikator ke komunikan satu arah) harus bergesermenjadi alur dua-arah yang dinamis.

Contoh Kasus

Praktik cross-media dan pergeseran audiens dapatdilihat dari kasus RRI Pro 2 Denpasar di atas. Denganmenjangkau pendengar lewat radio, web, dan media sosial sekaligus, RRI berhasil menarik audiens yang lebih muda dan lebih luas, serta meningkatkankesadaran terhadap program-programnya. Sebelumnyadi Indonesia, kolaborasi lintas media juga dilakukanoleh Tempo Media Group melalui Tempo Newsroom, di mana satu tim membuat konten yang digunakan untukmajalah cetak, situs online, dan program TV secarabersamaan (Walaupun belum dikutip di sini, hal inimenunjukkan tren serupa dalam industri media Indonesia).

Contoh lainnya di luar negeri adalahpraktik transmedia storytelling pada film dan serial. Misalnya, film superhero kini sering dipromosikanlewat komik pendek, web series mini, atau game online yang terhubung satu dunia cerita. Model ini menjagaagar penonton terlibat lebih dalam cerita lewat berbagaimedia. Di dunia periklanan pun, kampanye produksering memadukan iklan televisi dengan kontenYouTube, postingan Instagram, dan event offline, agar audiens merasa ikut mengalami cerita merek tersebutdari berbagai sudut. Hal-hal ini mempertegas bahwadalam ekosistem media modern, batas antarplatformmakin kabur dan saling melengkapi.

Kesimpulan

Hubungan antara konsep cross-media dan perubahanperilaku audiens sangat erat. Konsep cross-media lahirsebagai respons industri terhadap kebiasaan audiensyang berubah—yang kini menuntut konten cepat, visual, dan dapat diakses di mana pun. Media modern mempraktikkan cross-media dengan mengintegrasikankonten lintas platform (teks, audio, video, sosial media) untuk memperluas jangkauan dan mempertahankanrelevansi. Perubahan ini mengubah radikal polakonsumsi informasi: audiens menjadi lebih aktif, selektif, dan berperan sebagai produser konten. Ekspektasi audiens yang baru mendorong media untuklebih interaktif dan multitasking. Di satu sisi, cross-media memungkinkan media tetap hidup di tengahpersaingan perhatian audiens; di sisi lain, audiensmenikmati kebebasan memilih sumber dan format informasi sesuai keinginannya.

Secara keseluruhan, industri media di era digital ditantang untuk bersinergi di banyak kanal seiringaudiens yang semakin cair perbatasannya. Seperti yang ditunjukkan RRI Denpasar dan transformasi organisasimedia lain, strategi cross-media (multimedia, multichannel, micro-targeting) menjadi kunci adaptasi. Dengan demikian, fenomena ini bukan hanya tentangteknologi baru, tetapi juga tentang perubahan budayakomunikasi: audiens modern menuntut agar media “berbicaradengan cara yang lebih luas dan mendalammelalui seluruh media yang mereka gunakan sehari-hari.

Share Konten

Opini Lainnya

c5943218-1ddc-4832-b11c-ef40947401eb
Greenwashing dan Cultural Bleeding Politik Indonesia
8fbbfd7b-7670-4ad6-920c-c2f3c9fa2786
Hantu-Hantu Yang Bergentayangan Di Kampus
b6460e08-cba5-4b7d-8479-02ce12854cb4
Membongkar Ilusi Pembangunan dalam Program Satu Juta Rumah dan Urbanisasi Kota Makassar
d3553628-3ec5-4e49-82eb-a01620c46b8b
Kampus Adalah Arena, Pilih Cara Bermain Mu
3c7b0ea5-4e5a-43a4-95e0-0383cc642453
Bahasa Kekuasaan di Era Prabowo: Politik Tutur dan Disiplin Wacana
07fca8cd-2d90-4c07-b3b0-cb7cf645a0bf
Sejarah Pembersihan Etnis Di Palestina
WhatsApp Image 2025-11-12 at 23.18
Hari Kesehatan Nasional: Alarm dari Luka Para Tenaga Kesehatan
WhatsApp Image 2025-11-12 at 23.19
HKN 2025: Cita Transformasi Kesehatan Dengan Enam Pilar Yang Rapuh
f874040f-0065-4663-aa63-45a87f3ccb03
MBG dan Sekolah Rakyat, Simbol Generasi Sehat dan Mempersiapkan Masa Depan
e766f7f9-d936-415d-9602-5f78f2edb292
Pahlawan Palsu di Balik Kisah Cinta Kerajaan
Scroll to Top