ruminews.id – Makassar, 10 September 2025 — Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Badan Koordinasi Sulawesi Selatan menyampaikan rasa prihatin dan menyayangkan keputusan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo yang resmi mundur dari keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Rabu, 10 September 2025.
Menurut Asrullah Dimas, Ketua Umum HMI Badko Sulsel, mundurnya Rahayu Saraswati bukan hanya kehilangan bagi parlemen, tetapi juga bagi masyarakat luas yang selama ini melihat sosoknya sebagai representasi generasi muda sekaligus perempuan progresif di panggung politik nasional. Kehadirannya di DPR RI dinilai membawa warna baru, khususnya dalam memperjuangkan isu-isu kesetaraan gender, perlindungan anak, pemberdayaan masyarakat, hingga agenda kebangsaan yang lebih berpihak pada rakyat.
“Keputusan mundurnya Ibu Rahayu Saraswati tentu sangat kami sayangkan. Beliau adalah figur perempuan muda yang visioner, kritis, dan memiliki integritas dalam menjalankan fungsi legislatif. Kehadirannya di parlemen menjadi semacam harapan baru bagi generasi muda untuk lebih percaya diri masuk ke dunia politik. Mundurnya beliau jelas meninggalkan kekosongan peran yang cukup berarti,” ungkap Asrullah Dimas Ketua Umum HMI Badko Sulsel dalam pernyataannya.
Lebih lanjut, Asrullah Dimas yang akrab disapa Dimas menilai bahwa politik Indonesia masih sangat membutuhkan sosok-sosok yang berani bersuara dan konsisten memperjuangkan kepentingan rakyat, terlebih di tengah kondisi demokrasi yang menghadapi berbagai tantangan. Dengan mundurnya Rahayu Saraswati, HMI Badko Sulsel mendorong agar parlemen tidak kehilangan semangat regenerasi, serta tetap membuka ruang yang lebih luas bagi keterlibatan generasi muda dan perempuan.
“DPR RI harus tetap memastikan adanya representasi generasi baru yang tidak hanya mewakili formalitas, tetapi juga benar-benar membawa gagasan segar untuk memperbaiki kualitas demokrasi kita. Perempuan dan anak muda harus terus diberi ruang, sebab tanpa itu wajah politik kita akan kembali dikuasai oleh pola lama yang kerap jauh dari aspirasi masyarakat,” tegasnya.
Menurutnya, pengunduran diri tersebut tidak semata-mata merupakan keputusan personal, tetapi sekaligus mencerminkan adanya kelemahan dalam tata kelola komunikasi politik dan akuntabilitas moral di tubuh institusi politik.
“Pengunduran diri Ibu Rahayu Saraswati menunjukkan bahwa sistem politik kita masih belum memiliki mekanisme yang kuat dalam merespons krisis komunikasi publik. Ketika kontroversi muncul, klarifikasi dan pembuktian konteks seharusnya segera dilakukan secara terbuka, bukan dibiarkan berkembang liar hingga akhirnya memaksa individu mengambil langkah pengunduran diri,” ujar Dimas.
Lebih lanjut ia menegaskan, pengunduran diri bukan boleh dipahami sebagai satu-satunya jawaban. Parlemen dan partai politik semestinya menjadikan kasus ini sebagai pelajaran penting untuk memperkuat etika politik, membangun kapasitas komunikasi publik, serta menyiapkan mekanisme manajemen krisis yang lebih transparan.
“Jika kita hanya berhenti pada pengunduran diri, tanpa ada evaluasi menyeluruh dari lembaga dan partai politik, maka persoalan serupa akan berulang. Yang lebih berbahaya adalah timbulnya efek psikologis bagi generasi muda dan perempuan, yakni rasa takut untuk berpartisipasi aktif dalam politik karena khawatir satu kesalahan ucap dapat menghancurkan karier mereka,” tambahnya.
Mundurnya Rahayu Saraswati juga dipandang sebagai satu kesempatan refleksi bagi partai politik dalam hal pengelolaan kader, pelatihan komunikasi publik, manajemen krisis internal, serta bagaimana partai menanggapi kontroversi. Partai Gerindra misalnya dipandang mendapat tekanan publik untuk merespons secara baik dan menjaga reputasi. Dalam jangka panjang, ini bisa mempengaruhi bagaimana partai merekrut dan mendukung calon legislatif, terutama dari kalangan muda dan perempuan yang sensitif terhadap opini publik.
Dimas menegaskan bahwa momentum ini harus dijadikan ruang refleksi kolektif untuk memperbaiki budaya politik Indonesia. Transparansi, tanggung jawab publik, komunikasi yang beretika, dan keberanian menghadapi kritik secara dewasa adalah hal yang perlu diperkuat agar demokrasi tidak hanya formal, tetapi juga substantif.
“Ke depan, kami berharap DPR RI dan partai politik tidak hanya menjaga citra, melainkan juga berkomitmen pada substansi perjuangan rakyat, serta memastikan regenerasi politik berjalan dengan sehat dan inklusif,” tutup Dimas Ketua Umum HMI Badko Sulsel.