ruminews.id – Polemik menjelang pemilihan Rektor Universitas Hasanuddin (Pilrek Unhas) di tingkat Majelis Wali Amanat (MWA) pada bulan Januari 2026 mendatang, kian menghangat. Sejumlah narasi disebarluaskan, baik melalui pemberitaan media maupun artikel opini yang mengusung seruan dengan perspektif beragam.
Terbaru datang dari Arief Wicaksono, alumni Unhas yang pernah jadi Dekan FISIP Universitas Bosowa Makassar. Ia menulis artikel opini berjudul Bagai Menepuk Air di Dulang, Terpercik Muka Sendiri, diterbitkan Detik.com, Rabu (24/12). Terhadap artikel ini, saya memiliki pandangan yang berbeda.
Dalam hemat saya, Pilrek semestinya dipahami sebagai proses intelektual dan kelembagaan yang kompleks, bukan sekadar seremoni administratif yang diharapkan berjalan sunyi, steril, dan tanpa riak. Karena itu, menyederhanakan dinamika Pilrek sebagai kegaduhan yang “memercik muka sendiri” justru berisiko menutup ruang refleksi yang lebih substantif tentang bagaimana demokrasi kampus seharusnya bekerja.
Di dalam ruang akademik, perbedaan pandangan, ketegangan argumentasi, hingga kontroversi bukanlah anomali. Ia justru bagian inheren dari tradisi universitas modern yang hidup. Universitas bukan kuil kesunyian, melainkan arena pertarungan gagasan. Karena itu, ketika Pilrek memunculkan diskursus keras, kritik tajam, bahkan resistensi terbuka, pertanyaannya bukan apakah ini mencederai martabat kampus, melainkan apa yang sedang dipertaruhkan di balik semua dinamika itu.
Narasi yang menyamakan dinamika Pilrek dengan politik praktis ala Pilkada sering kali keliru sejak titik awal. Pilrek bukan kontestasi elektoral massal yang berorientasi suara rakyat semata, melainkan proses seleksi kepemimpinan akademik dengan implikasi strategis jangka panjang. Justru karena dampaknya besar terhadap arah kebijakan akademik, tata kelola, dan posisi Unhas dalam lanskap pendidikan tinggi nasional, maka wajar jika prosesnya melahirkan perdebatan serius dan keterlibatan emosional sivitas akademika.
Kekhawatiran bahwa perdebatan terbuka akan merusak reputasi universitas juga perlu diuji ulang. Reputasi perguruan tinggi tidak dibangun dari ketenangan semu, melainkan dari kepercayaan publik terhadap integritas proses internalnya. Transparansi, akuntabilitas, dan keberanian membuka ruang kritik justru menjadi fondasi utama kepercayaan tersebut. Universitas yang tampak “tenang” tetapi menutup ruang klarifikasi, diskursus, dan kritik, justru berisiko kehilangan legitimasi moral di mata publik akademik.
Isu dokumen, informasi yang beredar di ruang publik, atau narasi tandingan yang muncul selama Pilrek tidak bisa serta-merta direduksi sebagai kegaduhan tak bermakna. Ia adalah sinyal. Sinyal bahwa ada kegelisahan, ada pertanyaan yang belum terjawab, dan ada kebutuhan akan keterbukaan yang lebih besar. Menyebut semua itu sebagai riak politik semata, tanpa upaya menjawab substansinya, sama saja dengan mematikan alarm tanpa memeriksa sumber kebakaran.
Sementara seruan untuk kembali pada “tradisi luhur kampus” juga perlu ditempatkan secara kritis. Tradisi akademik sejatinya bukanlah alat untuk membungkam perbedaan, melainkan mekanisme untuk mengelola perbedaan secara beradab dan rasional. Tradisi bukan berarti kebal kritik. Justru tradisi akademik yang sehat adalah tradisi yang terus-menerus diuji, diperbarui, dan dikoreksi melalui dialog terbuka.
Dalam konteks ini, Majelis Wali Amanat (MWA) memang memiliki peran strategis. Namun peran itu bukan semata sebagai penutup kegaduhan, melainkan sebagai penjaga legitimasi proses. Legitimasi tidak lahir dari keheningan, tetapi dari keyakinan bahwa semua suara telah didengar, semua pertanyaan telah dijawab, dan semua keputusan diambil secara rasional serta bertanggung jawab.
Pilrek Unhas hari ini bukan sekadar soal siapa yang akan menjadi rektor. Ia adalah cermin bagaimana universitas memaknai demokrasi internalnya, bagaimana ia mengelola kritik, dan bagaimana ia menempatkan sivitas akademika sebagai subjek, bukan objek.
Kritik yang muncul bukanlah tindakan menepuk air di dulang, melainkan upaya menguji kedalaman air itu sendiri: apakah cukup jernih, cukup adil, dan cukup layak menjadi fondasi kepemimpinan akademik ke depan.
Menjaga martabat universitas tidak berarti menyingkirkan konflik, tetapi memastikan konflik itu dikelola secara terbuka, rasional, dan bermartabat. Di situlah justru nilai tertinggi universitas diuji. Vivat academia! (*)