OPINI

Lucu! Ketika Klarifikasi Sepihak Diposisikan sebagai Kebenaran

ruminews.id, Dalam beberapa waktu terakhir, ruang publik riuh oleh deretan klarifikasi dari Humas Universitas Hasanuddin, yang menarasikan adanya serangan hoaks terhadap pimpinan kampus. Dalam narasi yang beredar, disebutkan ada upaya delegitimasi prestasi institusi dan serangan tidak berdasar terhadap figur rektor.

Sekilas, pendekatan ini tampak wajar sebagai bentuk pembelaan institusi. Namun jika dicermati lebih dalam, ada persoalan serius yang patut dipertanyakan, yaitu siapa yang berhak menentukan kebenaran, dan dengan mekanisme apa?

Hoaks bukan sekadar istilah retoris. Ia adalah kategori faktual dan hukum yang menuntut pembuktian. Menyebut suatu informasi sebagai hoaks tidak cukup dengan pernyataan sepihak, bahkan jika pernyataan itu datang dari institusi sebesar universitas.

Dalam tradisi akademik, klaim—siapa pun yang mengajukannya—harus diuji, diverifikasi, dan dibuka untuk dikritik.

Di titik inilah problem muncul. Ketika institusi dengan cepat melabeli informasi tertentu sebagai hoaks, sementara proses verifikasi oleh lembaga berwenang belum pernah dilakukan, maka yang sesungguhnya sedang terjadi bukan klarifikasi, melainkan klaim kebenaran sepihak. Publik kemudian diminta percaya, bukan diajak berpikir.

Klarifikasi tentu adalah hak institusi. Namun klarifikasi bukanlah putusan final atas kebenaran. Ia hanyalah satu versi dari realitas, yang kedudukannya setara dengan versi lain hingga diuji secara objektif.

Dalam ruang akademik yang sehat, klarifikasi dan kritik seharusnya dipertemukan dalam dialog terbuka, bukan dipisahkan secara moralistik, dimana yang satu dianggap benar, yang lain langsung dicap sesat dan menyesatkan.

Masalah lain yang patut dicermati adalah kecenderungan playing victim dalam komunikasi institusional. Narasi bahwa ada pihak yang “tidak senang terhadap prestasi Unhas lalu menyerang lewat hoaks” terdengar simpatik, tetapi sekaligus menyederhanakan persoalan. Ia menggeser perdebatan dari substansi ke motif. Kritik tidak lagi dibaca sebagai pertanyaan rasional, melainkan sebagai ekspresi iri atau kebencian.

Cara berpikir seperti ini berbahaya. Ia menutup kemungkinan bahwa kritik lahir justru karena kepedulian terhadap tata kelola, transparansi, dan etika institusi. Dalam dunia akademik, mempertanyakan proses bukanlah tanda ketidaksenangan, melainkan bentuk keterlibatan intelektual.

Lebih jauh, Universitas Hasanuddin adalah perguruan tinggi negeri berbadan hukum. Ia bukan entitas privat, melainkan institusi publik yang mengelola dana negara dan kewenangan besar.

Karena itu, proses-proses strategis di dalamnya—termasuk pemilihan pimpinan—tidak bisa diletakkan di ruang steril yang kebal dari sorotan. Transparansi dan akuntabilitas bukan ancaman, melainkan konsekuensi logis dari status publik tersebut.

Menghadapi kritik dengan melabelinya sebagai hoaks tanpa mekanisme pembuktian yang sah justru bertentangan dengan nilai-nilai akademik yang selama ini dijunjung. Kampus seharusnya menjadi teladan dalam membedakan opini, kritik, klarifikasi, dan fakta. Ketika perbedaan itu diabaikan, yang terancam bukan reputasi figur, melainkan kredibilitas institusi itu sendiri.

Kita sepakat bahwa menolak hoaks adalah keharusan. Tetapi menolak hoaks tidak boleh menjadi alasan untuk alergi terhadap kritik. Hoaks harus dibuktikan sebagai hoaks, sementara kritik harus dijawab sebagai kritik. Mencampuradukkan keduanya hanya akan merusak kualitas diskursus dan mempersempit ruang berpikir kritis.

Pada akhirnya, tradisi akademik tidak diukur dari seberapa cepat institusi membela diri, melainkan dari seberapa sabar ia menghadapi pengujian.

Kebenaran dalam dunia akademik tidak diumumkan lewat rilis, tetapi dibangun melalui proses. Jika kampus mulai menggantikan proses itu dengan klaim sepihak, maka sesungguhnya kita sedang menjauh dari nilai yang selama ini kita banggakan.

Dalam tradisi akademik, tidak ada kebenaran yang kebal kritik. Bahkan klarifikasi pun sesungguhnya harus siap diuji! (*)

Share Konten

Opini Lainnya

017936f7-7771-4e59-95a1-0565a635766d
Kampus Bukan Zona Bebas Kritik
ab29cefe-49ca-48f8-a59d-adf2c00da05b
Belajar Pelan-Pelan di Kota yang Bergerak Cepat
331cac43-f13d-4690-a876-4f51ba879d65
Negara Sibuk Mengurus Sawit, Air Mengurus Rakyat: Air yang Jujur, Negara yang Mengelak
b2933403-15a0-4d99-acc9-00e5a7c644c8
Ketika Pelajaran Sekolah Menyelamatkan Nyawa.
00e38094-709c-4290-9114-a1114e54b60a
Kebijakan Pertanian : Peluang Generasi Muda dan Masa Depan Indonesia
962faf62-2d6b-4a1b-b248-cdfd67cfa972
Nexus: Ketika Jaringan Informasi Menjadi Arena Politik Peradaban
2e12a1c3-353e-453b-bc48-ed0418db2ed9
Raja Ampat dan Geopolitik Sumber Daya Alam: Di Antara Surga Ekologi dan Tarikan Ekonomi Global
6ce775bb-a2c5-4ce4-af47-629de78123fe
LKIII BADKO PAPUA BARAT - PAPUA BARAT DAYA: KEDAULATAN SDA MINERAL KRITIS
9914b5ac-eb0b-45f7-8a0c-c89cff75166f
Presiden tolong buatkan kami jembatan agar kami nyaman kesekolah. Seorang anak pelosok meminta lansung dibuatkan jembatan terhadap presiden.
abff4d92-1a71-496d-9412-afd1404a8a41
LK III BADKO HMI PAPUA BARAT - PAPUA BARAT DAYA: KAPITALISME DIGITAL & SEMESTINYA KADER HMI BERSIKAP
Scroll to Top