ruminews.id – Ada kecenderungan berbahaya yang menguat dalam polemik Pemilihan Rektor Universitas Hasanuddin belakangan ini saat kritik diposisikan sebagai ancaman, pertanyaan dianggap sebagai niat buruk, dan keraguan publik dicurigai sebagai upaya merusak tradisi akademik.
Narasi semacam ini bukan hanya keliru, tetapi juga menandai gejala kemunduran cara berpikir di lingkungan yang seharusnya paling rasional.
Tradisi akademik tidak pernah dibangun dari keheningan, apalagi dari kepatuhan membuta. Ia tumbuh dari perdebatan, dari keberanian menguji kekuasaan intelektual, dan dari kesediaan institusi untuk diawasi.
Ketika kritik terhadap proses Pilrek justru dituduh sebagai serangan personal, di situlah kampus sedang mengalami krisis nalar.
Masalah mendasarnya bukan pada siapa yang dikritik, melainkan pada bagaimana kritik itu direspons.
Alih-alih membuka ruang klarifikasi yang jernih, sebagian pihak memilih berlindung di balik moralitas akademik yang abstrak. Kritik dilabeli sebagai framing, seolah publik tidak berhak mempertanyakan mekanisme pengambilan keputusan di institusi yang dibiayai oleh uang negara.
Logika ini berbahaya. Ia menciptakan kasta baru dalam dunia akademik dimana segelintir elite yang kebal dari pertanyaan, dan mayoritas sivitas yang diminta percaya tanpa tahu.
Jika ini terus dinormalisasi, kampus tidak lagi menjadi ruang pencarian kebenaran, melainkan sekadar birokrasi kekuasaan berlabel akademik.
Lebih ironis lagi, kritik terhadap prosedur kerap disederhanakan menjadi isu reputasi individu. Ini adalah pengalihan isu yang disengaja. Membela figur sambil menghindari pembahasan tata kelola sama saja dengan mengaburkan substansi.
Dalam demokrasi kampus, yang harus dijaga pertama-tama bukan nama besar seseorang, tetapi integritas proses. Sebagai perguruan tinggi negeri berbadan hukum, universitas tidak bisa berlindung di balik dalih “urusan internal”.
Status publik melekat pada setiap kebijakan strategisnya. Karena itu, tuntutan transparansi bukanlah intervensi, melainkan konsekuensi logis dari kewenangan yang besar.
Narasi bahwa kritik akan menyesatkan publik juga patut dipertanyakan. Publik justru tersesat ketika kampus menutup diri, ketika perbedaan pendapat diperlakukan sebagai gangguan, dan ketika klarifikasi digantikan oleh stigmatisasi. Dalam ruang gelap seperti inilah spekulasi dan kecurigaan tumbuh subur.
Sejarah universitas-universitas besar di dunia menunjukkan bahwa reputasi institusi tidak runtuh karena kritik, tetapi karena arogansi kekuasaan. Kampus yang sehat tidak takut diuji, sebab ia yakin pada rasionalitas prosedurnya.
Maka pertanyaannya sederhananya adalah, siapa sebenarnya yang sedang merusak tradisi akademik? Mereka yang mengajukan pertanyaan, atau mereka yang alergi terhadapnya?
Jika kampus ingin tetap relevan sebagai benteng etika dan pengetahuan, satu prinsip harus ditegakkan tanpa kompromi adalah, bahwa kekuasaan akademik yang tidak mau dikritik pada akhirnya akan kehilangan legitimasi moralnya.
Kritik bukan musuh universitas. Ketakutan terhadap kritiklah yang justru menjadi ancaman nyata bagi masa depan akademik kita. (*)