ruminews.id – Salah satu pilar pembangunan berkelanjutan adalah adanya konsep pemanfaatan sumber daya alam dengan tetap memperhatikan kelestarian alam itu sendiri. Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar, ini dapat menjadi modal yang besar pula untuk membangun negara. Modal pemanfaatan termaktub dalam UUD 1945, kekayaan alam wajib dimanfaatkan untuk pembangunan nasional adil dan merata serta tetap mengutamakan etika lingkungan.
Prospek etika lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam kritis kerap jadi sorotan. Sebab membuat lahan yang sudah dikerok tidak lagi produktif, diperparah dengan manajemen yang buruk, sehingga mengganggu keseimbangan iklim. Kendati mineral kritis, seperti nikel adalah kekayaan vital yang sangat dibutuhkan ekonomi politik pergaulan global di hari-hari depan.
Mineral kritis seperti nikel adalah bahan mentah yang menjadi kata-kata dalam narasi geopolitik global yang tak henti ditulis ulang. Dalam pergaulan global melibatkan tidak hanya dominasi militer tetapi juga pertarungan pengaruh melalui budaya, teknologi, dan akses informasi. Di tengah pergaulan global itu, Indonesia mesti menjelma pemilik kekayaan bumi yang melimpah, yang mampu memprosesnya sendiri dalam negeri, sebagai modal, daya tawar posisi Indonesia pada pergaulan global. Inilah titik di mana visi hilirisasi yang digaungkan Abangda Menteri Bahlil Lahadalia menemukan resonansinya, bukan sekadar sebagai kebijakan ekonomi, tetapi sebagai sebuah pernyataan politik—sebuah upaya menjebol pola lama. Di samping, figurnya yang sedang di hujat netizen dalam negeri.
Kebijakan untuk menghentikan ekspor minyak mentah dan memaksakan pengolahannya di dalam negeri adalah sebentuk perlawanan terhadap pola lama. Kebijakan ini dengan tegas mengalihkan sekitar 12-13 juta barrel dari rencana ekspor untuk disuling di Balikpapan, Cilacap, atau Dumai, mengubah cairan hitam itu dari sekadar angka di neraca perdagangan menjadi energi yang menghidupi industri lokal. Langkah ini paralel dengan proyek besar hilirisasi senilai Rp618 triliun yang digeber pemerintah, sebuah komitmen monumental yang terbagi dalam delapan proyek minerba, dua proyek transisi energi, hingga tiga proyek pertanian dan kelautan.
Angka-angka sebesar US$38,63 miliar ini bukanlah mantra pertumbuhan semata, melainkan janji untuk 276.636 lapangan kerja yang diharapkan tercipta. Di balik gegap gempita investasi, ada upaya sunyi untuk menciptakan percakapan baru dalam pergaulan global. Dari ekspor bijih nikel dan objek mineral kritis lainnya yang terbang ke seberang lautan, menjadi baterai lithium yang menghidupi mobil listrik dunia, sangat bermutu disertifikasi SNI yang siap dikonsumsi atau diekspor dengan kepala lebih tegak dalam pergaulan global.
Namun, jalan menuju kedaulatan Sumber Daya Alam mineral kritis (nilai tambah) ini tidak dilalui dengan sendirinya. Ia berhadapan dengan sebuah tembok besar yang diungkapkan kajian akademis. Sumber daya alam bisa menjadi berkat yang mengembangkan sektor finansial, tetapi dalam iklim risiko geopolitik yang meninggi, ia justru bisa berbalik menjadi kutukan, apabila pengelolanya bajingan, tidak kompeten. Ketegangan di Laut China Selatan, persaingan pengaruh negara-negara besar, dan fluktuasi harga global adalah angin kencang yang menguji ketahanan kapal nasional kita. Investasi senilai US$7 miliar dari sovereign wealth fund global seperti dari Qatar atau China Investment Corporation adalah dua sisi mata uang: di satu sisi suntikan modal yang dinanti, di sisi lain pengingat akan betapa tertariknya kekuatan global pada transisi energi dan mineral strategis kita. Indonesia, dengan 9% PDB dan hampir 30% ekspornya bergantung pada sektor ekstraktif, sedang berjalan di atas tali antara memanfaatkan momentum nikel untuk energi bersih dan mengurangi ketergantungan pada batu bara.
Langkah-langkah hilirisasi itu perlu direnungkan lebih dalam. Ia bukan—dan tidak boleh menjadi—sekadar penggantian satu jenis ketergantungan dengan yang lain. Bukan tentang mengganti ekspor bijih nikel dengan ekspor baja nirkarat, lalu berpuas diri. Lebih dari itu, hilirisasi yang hakiki adalah proses membangun kapasitas, kecerdasan kolektif, dan jaringan industri dalam negeri yang organik. Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk hilirisasi, merupakan upaya kecil namun signifikan untuk menetapkan “percakapan global” kualitas kita sendiri, sebelum terjun dalam pergaulan perdagangan global. Presiden Jokowi pernah berpesan agar proyek-proyek strategis ini segera direalisasikan, sebuah desakan yang mencerminkan kesadaran akan jendela peluang yang tidak terbuka selamanya.
Geopolitik sumber daya alam adalah kisah tentang pilihan. Apakah kita tetap menjadi bagian dari “rimland” yang pasif, seperti dalam teori geopolitik klasik, yang hanya menjadi pinggiran yang diperebutkan? Atau kita membentuk jantung (heartland) produksi dan inovasi baru berdasarkan kekayaan alam sendiri.
Dinamika ekonomi politik global kini mengajarkan bahwa kekuatan tidak melulu tentang konflik, tetapi juga tentang kemampuan untuk berkolaborasi dengan posisi yang setara dan daya tahan dalam menghadapi ketidakpastian. Proyek hilirisasi Rp 618 triliun dan larangan ekspor minyak mentah adalah dua sisi dari mata uang yang sama, sebuah afirmasi. Sebuah upaya untuk mengalihkan takdir geografis dari kutukan menjadi anugerah, dari menjadi objek peta kekuasaan imperialis menjadi subjek yang aktif menggambar. Namun, seperti origami yang selalu bisa dibuka dan dilipat ulang, bentuk akhir dari kedaulatan ekonomi ini belum selesai. Ia adalah proses percakapan yang terus-menerus, sebuah potensi kemerdekaan kata kerja yang dinamis. Keberhasilan tidak hanya diukur pada tonase produk hilir yang dihasilkan atau jumlah dolar investasi yang masuk, tetapi pada apakah rantai nilai itu telah menyentuh dan memuliakan hidup manusia paling kecil yang menambang, yang menanam, yang bekerja di pabrik pengolahan serta tidak melanggar etika lingkungan?Di situlah letak ujian sebenarnya dari setiap kebijakan yang ambisius.