Spirit Komunitas Vespa Menggema: Ravespa Bicara, Sinar Mentari Mengarahkan Dialog Pada Carnival Bike Fair 2025

ruminews.id, Makasar — Vespa bukan sekadar kendaraan bermotor. Dalam panggung sejarah dunia, ia hadir sebagai jejak budaya, penanda zaman, dan saksi perjalanan manusia dalam mempertahankan martabatnya. Sejak pertama kali menghirup nafas produksi pada tahun 1946 di Italia, Vespa lahir dari reruntuhan Perang Dunia II, ketika Eropa terbata-bata menata hidup dari puing kehancuran.

Saat itu, masyarakat membutuhkan kendaraan yang praktis dan efisien untuk kembali bergerak. Vespa pun muncul bukan sekadar mesin dengan dua roda, melainkan simbol harapan dan kemandirian. Ia menjadi kendaraan budaya, cara manusia melawan kesulitan hidup sehari-hari, bukan sekadar alat transportasi.

Kehadiran Ravespa, perwakilan komunitas Vespa Makassar, turut menguatkan narasi tersebut. Mereka menjadi bukti hidup bahwa Vespa bukan hanya dikendarai, tetapi dirawat, dirayakan, dan dijadikan ruang persaudaraan. Dalam komunitas, Vespa berubah menjadi bahasa keakraban, menjadi cara untuk saling memahami tanpa perlu banyak kata.

Diskusi ini dipandu dengan penuh kehangatan oleh Sinar Mentari selaku moderator, yang menjaga alur percakapan tetap hidup, cair, dan penuh dialog makna. Ia memastikan setiap pemikiran mengalir dan setiap penjelasan mendapat ruang untuk beresonansi.

Maka tak mengherankan jika Vespa sering disebut sebagai simbol kultural. Ia lebih dari kendaraan; ia adalah cerita perjalanan, kenangan yang berulang, dan cara manusia merawat rasa dalam hidup yang bergerak cepat.

Vespa, dengan segala sejarahnya, terus melaju. Bukan untuk sekadar tiba di tujuan, melainkan untuk menjaga makna dalam setiap langkah perjalanan.

Sementara itu Ravespa, seorang pegiat komunitas Vespa, menuturkan bahwa Vespa hari ini bukan sekadar kendaraan yang melintas di jalan-jalan kota. Ia telah menjelma menjadi budaya, sebuah subculture yang tumbuh dari rasa kebersamaan, solidaritas, dan gaya hidup yang tak lekang oleh waktu. Dalam pandangannya, Vespa bukan hanya mesin dan rangka, melainkan ruh yang menyatukan manusia melalui perjalanan dan cerita.

“Vespa itu punya jiwanya sendiri,” ujarnya pelan namun pasti. Ia bercerita tentang komunitas tempat ia bernaung komunitas yang tak ditopang oleh hierarki kekakuan, melainkan oleh rasa saling menjaga. Ketika satu Vespa mogok di pinggir jalan, maka komunitaslah yang akan berhenti, mendekat, dan bersama-sama membuatnya kembali hidup. Di sana, solidaritas bukan slogan, melainkan napas sehari-hari.

Menurutnya, Vespa telah menjadi subkascel subkultur sosial yang memiliki bahasa, simbol, dan makna yang dikenal hanya oleh mereka yang merasakannya dari dalam. Dari cara berpakaian, cara berkumpul, hingga cara memaknai perjalanan, semua memiliki ciri yang tidak dapat dipalsukan. Ada identitas yang tumbuh bukan dari klaim, tetapi dari pengalaman bersama.

Itulah mengapa Vespa tetap ada. Ia bertahan bukan karena tren, bukan karena gaya yang dipaksakan, melainkan karena ia hidup dalam relasi antarmanusia. Vespa bukan semata kendaraan, tapi ruang perjumpaan tempat di mana orang-orang saling menolong, saling menjaga, dan merawat persaudaraan tanpa syarat.

“Vespa adalah bahasa yang tidak pernah selesai diterjemahkan,” tutup Ravespa.

Bahasa perjalanan dan kebersamaan.
Bahasa kita.

Scroll to Top