OPINI

Hukum di Punggung Kekuasaan: Ketika Keadilan Menjadi Bayangan dari Kuasa

ruminews.id – Dalam lanskap politik modern, hukum kerap dipuja sebagai simbol keadilan dan supremasi moral negara. Namun, di balik retorika legalistik dan jargon supremasi hukum, terselip ironi yang semakin mencolok: hukum sering kali tidak lagi menegakkan kebenaran, melainkan mempertahankan kekuasaan. Ia hidup di punggung kekuasaan lentur terhadap arah angin politik, tapi kaku terhadap suara keadilan.

Plato dalam The Republic menulis, “Keadilan adalah harmoni dalam jiwa dan dalam negara.” Namun ketika harmoni itu tergantikan oleh kepentingan, hukum kehilangan keseimbangannya. Ia berhenti menjadi alat penuntun kebajikan, dan menjelma menjadi alat kontrol. Dalam masyarakat yang politiknya penuh kalkulasi, keadilan bukan lagi nilai yang dicari, melainkan instrumen untuk mengatur narasi.

Cicero mengingatkan dalam De Legibus, “Hukum sejati adalah akal yang benar, sesuai dengan kodrat alam, berlaku untuk semua, abadi dan tidak berubah.” Tapi dalam praktik politik kekuasaan, hukum menjadi cair. Ia berubah sesuai kebutuhan, bukan berdasarkan prinsip. Kebenaran tidak lagi bersumber dari nurani, melainkan dari interpretasi yang disetujui oleh mereka yang berkuasa. Di sinilah hukum kehilangan suaranya yang paling luhur: keberpihakan pada kebenaran yang universal.

Foucault menyebut hukum modern sebagai wujud disciplinary power kekuasaan yang tak lagi memerintah lewat ancaman, tapi lewat kepatuhan yang ditanamkan. Hukum tidak lagi memaksa, tetapi menormalisasi. Ia tidak lagi menghukum karena salah, tetapi karena berani berbeda. Di titik inilah hukum berhenti menjadi penyeimbang moral, dan menjadi penentu siapa yang layak diam dan siapa yang pantas dibungkam.

Hannah Arendt pernah menulis, “Kebenaran dan politik jarang berjalan bersama.” Dalam dunia yang dikuasai narasi, keadilan mudah sekali direkayasa. Proses hukum bisa berjalan dengan sempurna secara prosedural, tapi hampa secara substansial. Ia seperti panggung teater yang megah: penonton terkesima oleh adegan, namun tak sadar bahwa naskahnya sudah ditulis oleh kepentingan.

Lord Acton, dengan kegetiran moralnya, mengingatkan bahwa “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut.” Ketika hukum tidak lagi menjadi pengawas kekuasaan, melainkan pelindungnya, maka keadilan hanya akan menjadi mitos konstitusional dibicarakan di podium, tapi dilupakan di praktik.

Kita membutuhkan keberanian moral untuk menempatkan hukum kembali di bawah kebenaran, bukan di bawah kuasa. Sebab, sebagaimana ditegaskan Immanuel Kant, “Keadilan akan lenyap jika kebenaran tidak dijadikan dasar dari hukum.”

Hukum yang sehat tidak lahir dari ketakutan pada kekuasaan, tetapi dari keberanian menegakkan nurani. Dan selama hukum masih berdiri di punggung kekuasaan, ia hanya akan menjadi bayangan dari kuasa gelap, lentur, dan kehilangan arah ketika cahaya kebenaran dipadamkan.

Share Konten

Opini Lainnya

f874040f-0065-4663-aa63-45a87f3ccb03
MBG dan Sekolah Rakyat, Simbol Generasi Sehat dan Mempersiapkan Masa Depan
e766f7f9-d936-415d-9602-5f78f2edb292
Pahlawan Palsu di Balik Kisah Cinta Kerajaan
58d3f0d4-36aa-46dd-a0f4-5e42f2c545a0
Cara Mengatasi Sulit Tidur: Belajar Menyerahkan Kendali Agar Otak Dan Jiwa Bisa Seimbang Alami
6f7ebe19-d907-43d7-a3f2-dda6f4028066
Hari Jadi Daerah dan Jarak yang Makin Lebar dengan Warganya
IMG-20251031-WA0036
Ketika Kampus Membisu: Intelektual yang Gagal Mengawal Demokrasi
01aa9051-a6d6-4d85-abeb-0f6ba9774463
Refleksi Yuridis ; “Paradoks di Perbukitan/Pegunungan Bagian Barat Daya Sulawesi Selatan, yang Kehilangan Bentuknya”
e785f272-3514-4e03-8b1d-05350fe81bb4
Menakar Kelayakan Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional
ef274a99-95b3-4e25-accb-ff05e464e99c
Feodalisme Berkedok Adab
221cd4eb-6f25-4ba3-8c4d-1728ad9cd5b1
Sedang Menghabiskan Jatah Kalah
IMG-20251026-WA0117
Estetika Pembelajaran Seni: Melampaui Keterampilan Menuju Penemuan Diri
Scroll to Top