OPINI

Estetika Pembelajaran Seni: Melampaui Keterampilan Menuju Penemuan Diri

RUMINEWS – Seni sering kali dianggap sebagai sebuah bahasa universal yang mampu menyentuh emosi manusia, menciptakan koneksi yang mendalam antara individu dan dunia sekitar. Namun, sistem pendidikan yang ada, kita lebih sering mendengar tentang cara menggambar yang benar, perspektif yang tepat, atau aturan warna yang sempurna. Apa yang hilang dalam pengajaran seni ini adalah esensi dari seni itu sendiri, proses eksplorasi pribadi yang tidak terikat oleh aturan dan standar eksternal. Seni, dalam banyak konteks, menjadi sekadar rutinitas teknis yang mengikuti instruksi, tanpa memberi ruang bagi siswa untuk benar-benar menjadi “seniman” dalam arti yang lebih mendalam. Bukankah ini sebuah ironi? Pendidikan seni yang seharusnya memberi kebebasan justru seringkali dibatasi oleh kerangka aturan yang kaku.
Kelas yang fokus pada keterampilan teknis lebih diminati karena menawarkan solusi cepat dan mudah tanpa proses rumit. Namun, belajar untuk membentuk diri, apalagi menciptakan karya seni yang asli dan orisinil, tidaklah sesederhana itu. Metode pengajaran yang hanya berfokus pada peningkatan keterampilan teknis tidak akan cukup untuk membantu siswa berkembang menjadi seniman sejati. Gaya mengajar ini juga mungkin tidak akan mendukung perjalanan peserta didik dalam mengenal diri mereka sebagai seniman, yang melibatkan eksplorasi, eksperimen, dan pengembangan kreativitas.
Pertanyaannya, apakah kita fokus pada keterampilan atau penemuan diri? Bagaimana mengajarkan kreativitas jika mengikuti aturan yang sudah ada? Jika kita terus mendiktekan teknik dan metode tanpa memberikan ruang untuk eksperimen, apakah kita benar-benar mendidik seniman, atau sekadar melatih pekerja seni yang hanya bisa meniru apa yang sudah ada? Ini adalah pertanyaan yang mendalam dan mengundang kita untuk merenung lebih jauh.
Mengutip pernyataan Einstein dalam wawancaranya dengan The Saturday Evening Post pada tahun 1929, “Imaginasi lebih penting daripada pengetahuan, karena pengetahuan terbatas, sementara imajinasi mencakup seluruh dunia.” Dengan kata lain, pengetahuan yang terbatas pada teknik dan aturan tidak akan mampu mengembangkan imajinasi siswa untuk menciptakan karya seni yang orisinal dan transformatif. Dalam konteks pendidikan seni, ini berarti bahwa kita harus menggeser fokus dari pengajaran teknik yang ketat menuju pemberian ruang bagi siswa untuk mengembangkan kreativitas mereka melalui eksplorasi bebas dan eksperimen.
Namun, dalam budaya dan sistem pendidikan, ada sebuah tekanan sosial yang besar untuk mematuhi norma dan standar yang telah ditetapkan. Di beberapa tempat, seni dipandang sebagai aktivitas yang “bisa diukur” berdasarkan seberapa baik seseorang mengikuti teknik tertentu, sementara kebebasan kreatif justru sering dipandang sebagai sesuatu yang tidak dapat diajarkan, atau bahkan disia-siakan. Dalam masyarakat yang sangat terstruktur, di mana prestasi sering kali diukur dengan standar yang jelas dan dapat dilihat, seni sering kali kehilangan esensinya sebagai sebuah ekspresi pribadi yang autentik.

Memahami Perjalanan Kreatif Siswa Menjadi Seniman
Ketika kita berbicara tentang perjalanan menjadi seorang seniman, kita berbicara tentang sebuah perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian dan kegagalan. Setiap langkah dalam perjalanan ini bukan hanya tentang mencapai hasil yang sempurna, tetapi lebih pada proses yang mengarah pada pemahaman diri dan penemuan suara kreatif yang unik. Ini adalah hal yang sering kali tidak diajarkan dalam pembelajaran seni. Kita terlalu sering mengajar untuk “menghasilkan karya seni yang indah” tanpa memberi tahu siswa bahwa seni yang sesungguhnya adalah tentang kebebasan untuk gagal dan berani bereksperimen.
Seperti yang dikatakan oleh Carl Jung, “Individuasi adalah proses pencapaian keutuhan diri yang sejati.” Dalam seni, ini berarti bahwa seorang seniman harus menemukan cara untuk menciptakan sesuatu yang unik dari dirinya sendiri, bukan meniru atau mengikuti pola yang sudah ada. Namun, dalam sistem pendidikan yang sering kali berfokus pada pencapaian teknis, proses ini sering diabaikan. Bukankah ini menciptakan kontradiksi? Kita mengajarkan cara menggambar dengan sempurna, tetapi pada saat yang sama kita mengabaikan nilai eksplorasi dan penemuan diri yang seharusnya menjadi inti dari seni itu sendiri.
Seni seharusnya bebas ekspresi, namun aturan kaku justru membatasi imajinasi siswa, Pendidikan seni bukan hanya tentang mempelajari teknik menggambar atau melukis. Lebih dari itu, seni adalah perjalanan panjang yang melibatkan penemuan diri, keberanian untuk bereksperimen, dan kemampuan untuk menerima ketidaksempurnaan. Setiap pelajaran seni lebih dari sekadar mengajarkan cara membuat karya seni; ada proses yang lebih mendalam yang mengarah pada bagaimana seseorang bisa menjadi seniman sejati.
Namun, bagian ini tidaklah mudah. Pembelajaran yang terlalu fokus pada keterampilan teknis dan logika, sementara siswa belum menemukan cara untuk menciptakan seni yang orisinal dan murni dari dalam diri mereka, justru dapat menghambat perkembangan dan kemajuan mereka sebagai seniman. Mengandalkan aturan dan teknik tanpa menyentuh sisi kreatif mereka hanya akan membatasi potensi seni yang bisa mereka hasilkan.
Dalam konteks ini, siswa sering kali diajarkan untuk mengikuti aturan dan menyalin hal-hal berdasarkan logika otak, bukannya menggali sisi kreatif mereka. Kita cenderung mengikuti aturan dan meniru apa yang sudah ada berdasarkan pemikiran logis. Namun, seni yang benar-benar baru dan asli tidak dapat tercipta hanya dengan menggunakan logika. Untuk itu, kita perlu mengakses sisi lain dari diri kita, yaitu sisi kreatif dan imajinatif.
Pembelajaran untuk menjadi seorang seniman seharusnya tidak hanya fokus pada keterampilan teknis dan aturan yang logis. Sebaliknya, perhatian perlu beralih ke sisi kreatif otak, yang memiliki kemampuan luar biasa untuk menghubungkan hal-hal yang sebelumnya tampak tidak terkait. Sisi kreatif ini memungkinkan pola-pola baru muncul, berimajinasi, bermain dengan ide, dan bereksperimen. Ia juga mengajarkan untuk menerima ketidakpastian dan tidak terhalang oleh kritik batin atau ketakutan akan kegagalan. Melalui kesalahan dan proses yang dijalani, setiap langkah dalam perjalanan kreatif menjadi lebih bermakna. Sisi kreatif ini mendorong seseorang untuk keluar dari zona nyaman dan mencoba hal-hal baru, yang akhirnya menghasilkan karya seni yang benar-benar asli dan unik.
Demikian, tentu saja, setiap siswa memiliki preferensi dalam cara mereka menggambar. Jika mereka merasa nyaman dengan cara tersebut, tentu mereka akan melakukannya dengan cara yang sama. Namun, hal ini tidak berarti cara mereka adalah yang terbaik untuk orang lain. Setiap individu itu unik, dan setiap siswa berhak untuk menciptakan seni dengan cara yang sesuai dengan diri mereka sendiri, yang mencerminkan keunikan dan ekspresi pribadi mereka.
Siswa berhak mendapatkan kesempatan untuk menciptakan karya seni mereka sendiri, dan inilah esensi dari pendidikan yang membebaskan. Guru tidak dapat langsung mengajarkan siswa bagaimana membuat karya seni, karena setiap individu hanya tahu cara terbaik untuk mengungkapkan seni mereka sendiri. Paulo Freire, dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed (1970), mengajarkan bahwa pendidikan yang membebaskan bukanlah pendidikan yang mengandalkan pengajaran top-down, melainkan lebih pada memfasilitasi siswa untuk menemukan potensi mereka sendiri. Dalam hal ini, peran guru adalah sebagai fasilitator yang membantu siswa menemukan gaya seni mereka sendiri, bukan hanya mengajarkan teknik yang harus diikuti.
Dalam konteks pendidikan seni, ini berarti guru tidak mengajarkan siswa untuk menggambar dengan cara yang sama seperti dirinya, tetapi mengajarkan siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam berkarya, seperti pernyataan Carl Jung, sebelumnya tentang individuasi, adanya pembebasan diri dari pengaruh eksternal dan menemukan suara kreatif yang sejati. Proses ini mengharuskan kita untuk berani mengeksplorasi dan melampaui batasan, yang merupakan bagian penting dalam perjalanan seorang seniman. Dengan demikian, siswa tidak hanya belajar teknik, tetapi juga belajar untuk memahami dan menghargai proses kreatif, yang jauh lebih mendalam dan berharga daripada hasil akhir.

Memicu Keberanian Dalam Berkarya
Siswa sering menilai karya mereka terlalu cepat, berharap langsung sempurna. Mereka membandingkan diri dengan seniman berpengalaman dan menerima kritik menekan, yang membuat mereka ragu akan kemampuan dan masa depan mereka sebagai seniman. Karya awal mungkin canggung dan tak sempurna, tapi itu bagian dari proses kreatif, di mana kesalahan dan kegagalan tak terhindarkan. Fokus pada pertumbuhan, bukan kesempurnaan, dan bersabar dalam setiap langka
Memang perjalanan untuk menjadi seorang seniman tidaklah mulus. Banyak yang mengharapkan untuk langsung membuat karya yang sempurna sejak awal, namun kenyataannya, karya pertama sering kali terasa canggung atau bahkan buruk. Itu adalah bagian dari proses dan diperlukan pola pikir berkembang seperti diperkenalkan Carol Dweck tentang The Growth Mindset (2006) berupa keyakinan bahwa kemampuan atau bakat seseorang dapat terus berkembang melalui usaha, pembelajaran serta ketekunan, dan individu dengan pola pikir berkembang cenderung melihat tantangan sebagai peluang, melihat kesalahan dan kegagalan sebagai bagian dari proses pembelajaran, bukan kegagalan permanen yang kiranya memudahkan seseorang untuk menerima ketidaksempurnaan dan terus berusaha berkembang. Ini sangat relevan dalam seni, di mana kesalahan dan kegagalan adalah bagian penting dari eksperimen dan eksplorasi dalam penciptaan.
Seni adalah tentang eksperimen dan eksplorasi, kita tidak bisa langsung menjadi ahli tanpa melalui kesalahan dan kegagalan. Ini adalah bagian dari perjalanan yang harus diterima. Sebagai seorang pemula perlu belajar untuk merayakan setiap karya, tidak peduli seberapa tidak sempurna itu. Setiap langkah kecil dalam proses penciptaan seni adalah bagian dari pembelajaran dan pertumbuhan.
Selain itu, Tantangan terbesar bagi siswa adalah menghadapi kritik. Kritik yang dimaksudkan untuk membantu bisa menjadi beban jika disampaikan tanpa dukungan. Banyak siswa yang merasa tertekan dan meragukan kemampuan mereka setelah menerima kritik. Namun, perjalanan seorang seniman bukan tentang mencapai kesempurnaan dalam setiap karya. Sebaliknya, Keberanian untuk mencoba, bereksperimen, dan belajar dari kegagalan adalah langkah menuju penemuan gaya seni yang unik. Demikian pernyataan Henri Matisse, salah satu seniman terkenal, dimana Kreativitas membutuhkan keberanian.

Menggali Potensi Seni Dalam Diri
Untuk menjadi seorang seniman, kita harus mengembangkan lebih dari sekadar keterampilan teknis. Adapun beberapa kualitas penting yang perlu dimiliki yaitu keberanian untuk bereksperimen dan mencoba hal-hal baru, keterbukaan untuk menerima ketidaksempurnaan dan belajar dari kesalahan, kreativitas untuk menemukan ide dan konsep baru dalam karya seni, ketekunan untuk terus berlatih dan berkomitmen pada proses kreatif, dan kesabaran dalam menerima bahwa hasil yang memuaskan membutuhkan waktu. Orang dengan pola pikir demikian tidak takut gagal, melainkan melihatnya sebagai proses penting dan bagian dari perjalanan kreatif yang harus diterima.
Seniman yang sukses adalah mereka yang tidak hanya menguasai teknik, tetapi juga memiliki kemampuan untuk terus berkembang dan mengekspresikan diri mereka melalui karya seni. Dengan memiliki kualitas-kualitas tersebut, setiap seniman dapat melewati rintangan dalam perjalanan mereka dan terus mengeksplorasi potensi kreatif mereka. Salah satu faktor kunci dalam perjalanan kreatif adalah dukungan lingkungan. Sejalan dengan Lev Vygotsky dalam teori sosio-kultural dalam Main in Society (1978) berpendapat bahwa perkembangan pembelajaran manusia berakar pada interaksi sosial dan budaya, bukan semata-mata proses internal individu. Pembelajaran terbaik terjadi dalam konteks sosial yang mendukung. Dukungan dari lingkungan, seperti guru, teman, atau komunitas seni, sangat penting dalam perkembangan kreatif individu. Selain itu, umpan balik konstruktif dan mendengarkan dorongan positif sangat penting untuk membantu siswa sebagai pemula dalam mengembangkan keterampilan dan membangun rasa percaya diri dalam proses berkaryanya.
Dalam hal ini, patut diperhatikan bahwa dukungan dari lingkungan, pemula membutuhkan dorongan dan penghargaan atas usaha mereka, bukan hanya penilaian yang kritis. Mereka perlu mendengar, “Kenapa tidak?” atau “Coba saja, itu bisa bekerja!” Alih-alih terjebak dalam kritik yang merusak, mereka harus mendapatkan dorongan untuk terus berkreasi dan berkembang. Seniman yang merasa dihargai dan didorong akan lebih mungkin untuk terus mengeksplorasi dan mengembangkan kemampuan mereka. Tanpa dukungan ini, banyak yang akan terhenti di tengah jalan dan merasa mereka tidak cukup baik.
Setiap seniman memiliki perjalanan unik untuk menemukan gaya mereka sendiri. Tidak ada formula yang pasti untuk mencapainya. Itu adalah sesuatu yang ditemukan melalui eksplorasi, eksperimen, dan kesalahan. Gaya seni yang dikembangkan adalah cerminan dari siapa seseorang sebagai individu, apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami. Jangan terlalu khawatir untuk meniru seniman lain atau mengikuti tren yang ada. Apa yang penting adalah menemukan cara unik untuk mengungkapkan ide dan emosi melalui seni. Ini adalah perjalanan yang memerlukan waktu, namun dengan komitmen dan dedikasi, gaya seni yang otentik akan terwujud.
Namun, dalam perjalanan ini, banyak siswa sebagai pemula yang terjebak dalam cara belajar yang lebih logis dan teknis karena kelas yang mengajarkan bagaimana cara menggambar atau melukis berdasarkan aturan dan langkah-langkah yang sudah terbukti efektif, tetapi hal tersebut hanya bagian dari perjalanan. Ketika masih berada di awal perjalanan dalam berkesenian, mencoba untuk mengikuti aturan tersebut bisa menjadi hambatan. Apa yang lebih penting adalah belajar untuk mendengarkan suara kreatif kita sendiri, mengeksplorasi ide-ide baru, dan tidak takut untuk membuat kesalahan. Seni bukan hanya tentang mengikuti aturan, tetapi tentang berani mengambil langkah baru dan menemukan cara baru untuk mengekspresikan diri.
Hadapi tantangan dan temukan diri untuk mencapai potensi penuh sebagai seniman dengan keberanian untuk menantang diri sendiri, mengeksplorasi, mencoba hal baru, dan menerima bahwa kesalahan adalah bagian dari perjalanan. Tidak ada cara pasti untuk mencapainya. Bagian ini adalah sesuatu yang tidak bisa diajarkan oleh siapapun. Hanya individu itu sendiri yang bisa menemukan dan mengembangkan gaya seni mereka. Menggali potensi kreatif membutuhkan waktu, latihan, dan keberanian untuk terus mencoba. Dengan dukungan yang tepat dan komitmen untuk terus berkembang, gaya seni unik akan mulai terwujud, yang mencerminkan siapa diri sebagai seorang seniman. Demikianlah, menjadi seorang seniman sejati adalah tentang perjalanan panjang untuk menemukan siapa diri sebagai kreator, yang melibatkan keberanian untuk mengeksplorasi, kesabaran untuk belajar dari kegagalan, dan ketekunan untuk terus berkembang.

Mengubah Paradigma dari Teknik ke ekspresi diri
Pendidikan seni tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga memiliki dampak yang luas terhadap masyarakat secara keseluruhan. Di banyak negara, seni dipandang sebagai elemen budaya yang harus dilestarikan dan dihargai. Namun, bagaimana masyarakat dapat menghargai seni jika mereka hanya diajarkan untuk melihatnya sebagai sekadar produk yang estetik, tanpa memahami proses yang mendalam dan penuh tantangan yang terlibat dalam menciptakan karya seni? Dalam konteks sosial ini, pendidikan seni yang hanya berfokus pada teknik bisa mengurangi pemahaman masyarakat tentang peran seni dalam membentuk identitas budaya.
Masyarakat kita, yang sering kali dipenuhi dengan standar dan ekspektasi yang ketat, menciptakan tekanan bagi individu untuk mencapai kesempurnaan dalam karya seni mereka. Dalam banyak budaya, kegagalan dianggap sebagai hal yang memalukan, yang menyebabkan siswa merasa takut untuk bereksperimen. Di sini, pendidikan seni yang lebih terbuka dan menerima kesalahan sebagai bagian dari proses sangat penting. Tanpa kesempatan untuk bereksperimen dan gagal, bagaimana kita bisa menciptakan seniman yang benar-benar orisinal dan transformatif?
Seni seharusnya menjadi sarana bagi individu untuk mengekspresikan diri mereka yang paling autentik. Namun, dalam banyak sistem pendidikan, kita sering kali melihat pendidikan seni sebagai sebuah pelatihan teknis yang terpisah dari proses kreatif yang lebih luas. Bagaimana jika kita mengubah paradigma ini? Bagaimana jika kita mulai melihat pendidikan seni bukan hanya sebagai cara untuk mengajarkan teknik, tetapi juga sebagai cara untuk membimbing siswa dalam perjalanan penemuan diri mereka?
Mungkin saatnya kita berhenti mengajarkan seni seperti kita mengajarkan matematika atau sains, dengan aturan yang kaku dan langkah-langkah yang harus diikuti. Sebaliknya, mari kita ajarkan seni sebagai sebuah proses yang penuh dengan kegembiraan, ketidakpastian, dan penemuan. Sebagaimana teori flow oleh Mihaly Csikszentmihalyi dalam bukunya Flow: The Psychology of Optimal Experience” (1990) tentang seseorang merasa fokus penuh menikmati aktivitas hingga kehilangan kesadaran diri dan waktu yang disebut sebagai pengalaman optimal, demikian pencapaian tertinggi dalam seni terjadi ketika individu sepenuhnya tenggelam dalam aktivitas kreatif mereka. Flow ini hanya dapat tercapai jika kita memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengeksplorasi dan tidak terfokus pada hasil akhir.
Maka sebagai penutup dengan sebuah pertanyaan, mengapa kita terus mengajarkan seni dengan cara yang begitu terstruktur dan terorganisir, padahal seni adalah tentang kebebasan ekspresi dan eksperimen? Apakah kita benar-benar mendidik seniman, atau kita hanya menciptakan individu yang dapat meniru seni yang sudah ada? Bisakah kita benar-benar mengembangkan kreativitas jika kita terus membatasi siswa dengan teknik-teknik yang sudah teruji dan terbukti?
Seni adalah tentang menemukan diri kita yang sejati. Bukankah kita seharusnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suara kreatif mereka tanpa batasan teknis yang menghalangi mereka? Apa yang akan terjadi jika kita mulai mengajarkan seni bukan hanya dengan mengajarkan teknik, tetapi dengan mengajarkan perjalanan penemuan diri yang tak terhingga?
Demikian, dengan menantang cara kita mengajarkan seni, kita mungkin bisa menemukan cara yang lebih bermakna untuk mendidik generasi seniman masa depan. Pendidikan seni yang tidak hanya mengajarkan teknik tetapi juga mendorong eksplorasi, eksperimen, dan keberanian untuk gagal, akan membuka jalan bagi penciptaan karya seni yang lebih orisinal, lebih mendalam, dan lebih bermakna. Mari memberanikan untuk mengubah cara kita melihat seni dan pendidikan seni, agar kita dapat menciptakan lebih banyak seniman sejati, bukan hanya pelaku seni yang terampil.

Share Konten

Opini Lainnya

IMG-20251101-WA0000
Perdagangan Kewarganegaraan
IMG-20251031-WA0036
Cicero Bangkit di Negeri Para Penjilat
IMG-20251031-WA0037
Kampus, Ideologi, dan Kebebasan Akademik: Refleksi atas Wajah Muhammadiyah di Ranah Pendidikan Tinggi
IMG-20251028-WA0042
Sumpah Pemuda Narasi Titik Temu
IMG-20251027-WA0052
“Dari B2B ke B2E"-(Kronik Satire Ekonomi ala Whoosh)
IMG-20251027-WA0048
Bahlil, Antara Rasisme dan Amanah Pasal 33 (Refleksi Jelang Peringatan Hari Sumpah Pemuda)
73f05b5e-9097-46d9-81b1-42ec7a742fb5
Indonesia dan Ilusi Bonus Demografi
IMG-20251024-WA0122
Berkarya Membangun Kesehatan Bangsa, 75 Tahun Hari Dokter Nasional
12dd9303-fb65-4165-925e-665eb1957acf
Purbaya: Idola Baru Gen Z, Musuh Lama Para Elit
IMG-20251021-WA0011
Ketika "Kontrak Sosial" Prabowo-Gibran Retak. (Perspektif Filsafat Politik dan Ekonomi)
Scroll to Top