OPINI

Bukan Sekadar Janji, MBG Adalah Langkah Revolusioner Membangun SDM Unggul

ruminews.idProgram Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dipimpin oleh pemerintahan Prabowo-Gibran awalnya terdengar seperti janji kampanye yang terlalu bagus untuk jadi nyata bahkan terkesan janji populis. Ia menawarkan fasilitas gratis, bergizi, dan tersedia bagi seluruh anak sekolah — hal ini terdengar ambisius di tengah kondisi keuangan yang sulit. Namun di balik keraguan itu, MBG memiliki visi besar: membentuk manusia Indonesia yang mempunyai kemampuan yang unggul.

Selama bertahun-tahun, pembangunan di Indonesia lebih sering bicara tentang jalan tol, embung, dan jembatan.
Tapi jarang yang benar-benar membangun manusia. MBG hadir dengan ide sederhana namun penting: sebelum membicarakan kualitas pendidikan, pastikan anak-anak tidak lapar saat belajar. Karena tak ada pelajaran yang bisa masuk jika perut kosong.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka stunting Indonesia masih mencapai lebih dari 21 persen pada tahun 2024.
Artinya, satu dari lima anak tumbuh tidak sesuai dengan usianya. Stunting bukan hanya tubuh pendek, tapi juga menunjukkan sistem yang gagal dalam memenuhi hak anak. Itulah sebabnya MBG sangat penting: ia bukan hanya proyek politik, tetapi usaha kemanusiaan.

Secara teori, gagasan ini punya dasar yang kuat.
Theodore W. Schultz dan Gary Becker melalui teori Human Capital menegaskan bahwa pembangunan ekonomi yang berkelanjutan hanya mungkin terjadi jika negara berinvestasi pada manusia — terutama lewat pendidikan dan gizi. Anak yang sehat akan belajar lebih baik, tumbuh lebih produktif, dan memberikan kontribusi besar bagi ekonomi. Dengan begitu, MBG sebenarnya adalah investasi jangka panjang, bukan beban anggaran.

Amartya Sen, seorang ekonom, melalui konsep capability approach juga menekankan bahwa pembangunan yang sejati terjadi ketika setiap manusia memiliki kesempatan untuk hidup sehat dan bermartabat.
MBG adalah bentuk konkret dari keadilan sosial tersebut — memastikan anak-anak dari keluarga miskin pun berhak mendapatkan makanan bergizi, bukan hanya mereka yang lahir di kota besar.

Namun, di tengah pujian, program ini juga menghadapi kritik.
Dalam beberapa uji coba di beberapa daerah, terdapat laporan kasus keracunan makanan di sekolah akibat kurangnya standar kebersihan dan pengawasan distribusi. Kejadian-kejadian itu memicu kekhawatiran: apakah MBG bisa dijalankan secara nasional tanpa persiapan teknis yang memadai?

Kritik publik ini sah dan perlu dijadikan cermin.
Karena niat baik bisa kehilangan maknanya jika pelaksanaannya tergesa-gesa dan minim pengawasan. Pemerintah perlu mengambil langkah taktis dan transparan:

1.Menegaskan standar keamanan pangan di setiap dapur sekolah, dengan pengawasan dari Dinas Kesehatan dan BPOM.

2.Melibatkan ahli gizi dan masyarakat setempat dalam merancang menu agar sesuai dengan kebutuhan anak di tiap wilayah.

3.Membangun sistem digital untuk melacak distribusi bahan makanan agar mengurangi risiko penyimpangan atau penurunan kualitas.

4.Mengevaluasi bertahap dan terbuka sebelum memperluas cakupan program secara nasional.
Selain masalah kesehatan, ada tantangan lain dalam mengelola program ini. MBG harus dijalankan dengan prinsip tata kelola yang baik — transparan, bertanggung jawab, dan didasarkan pada data. Diperlukan audit yang terbuka dan partisipasi masyarakat sipil agar uang triliunan rupiah benar-benar sampai kepada anak-anak, bukan terhenti di meja birokrat.

Meski memiliki kekurangan, arah kebijakan ini patut diapresiasi.
Jika dijalankan dengan pendekatan lokal, MBG memiliki potensi ekonomi yang besar. Bahan pangan dibeli dari petani, nelayan, dan pengusaha kecil di sekitar sekolah. Dengan cara ini, uang negara mengalir ke desa, bukan hanya ke perusahaan besar. Inilah bentuk ekonomi rakyat sejati — sekaligus menjaga kesehatan anak dan menggerakkan perekonomian lokal.

Kritik terhadap MBG sebagai program populis mungkin tidak sepenuhnya salah.
Namun, jika hanya melihat dari sisi biaya, kritik tersebut terlalu dangkal. Bangsa yang besar tidak lahir dari perhitungan untung-rugi semata, melainkan dari keberanian berinvestasi pada manusia. MBG menanam gizi hari ini untuk mendapatkan generasi yang unggul di masa depan.

Jika dijalankan dengan hati-hati, MBG bisa menjadi kebijakan terbesar dalam dua dekade terakhir — setara dengan wajib belajar dan jaminan kesehatan nasional.
Karena membangun bangsa bukan hanya membangun jalan, melainkan membangun manusia yang memiliki kemampuan dan kemapanan kognitif .

Dari satu piring makanan bergizi, lahir jutaan harapan.
Makan Bergizi Gratis bukan hanya sebuah program — ia merupakan pernyataan moral bahwa negara akhirnya memilih berpihak kepada anak-anak, mereka yang paling kecil, paling sunyi, dan hidup di perkampungan dan jauh dari perkotaan dan kelayakan hidup.

Share Konten

Opini Lainnya

48fe7643-874c-4424-8db5-d682d63de2be
Ketika Tagar #BoikotTrans7 Menutupi Cermin
IMG-20251016-WA0082
Ketika Kemasan Lebih Dipercaya dari Kandungan
8e7925ba-492e-4d85-8cee-afe0fbf1826a
Hari Pangan, Kedaulatan Pangan : Dari Swasembada Menuju Ketahanan Berkelanjutan
4b5a934e-cdde-4267-8fbf-dac52985c670
Gubernur Geruduk, Purbaya Tak Gentar Menunduk
759c926a-8e1f-402a-8479-70664459fb9d
10 Catatan Kritis HMI Sulsel Sambut Kedatangan Menteri Kehutanan
IMG-20251008-WA0001
Asistensi Mengajar Mandiri: Inovasi Kampus Menjawab Keterbatasan Kebijakan dan Menguatkan Nilai Sosial Calon Guru
IMG-20251007-WA0033
Ikhtiar, Takdir, dan Misi Kader HMI dalam Menjawab Tanggung Jawab Zaman
f5563536-316d-41d3-a4aa-3491fbf6cf0f
Fenomena Kanda Karca: Belajar dari Senior untuk Melihat Dunia
b03bfafc-3c92-444e-9393-3368a865adb1
Makan Bergizi Gratis, “Cobra Effect” dan Sabotase?
IMG-20251005-WA0093
Menyambut Era Algoritmokrasi Ekonomi
Scroll to Top