ruminews.id – Ada istilah menarik yang belakangan saya dengar dari seorang senior di kampus. Senior ini, sekarang sudah jadi ketua prodi di UNM. Darinya saya mendengar sebuah istilah yang terdengar unik dan menarik, yaitu pemimpin kordoba.
Bukan, bukan Cordoba yang di Spanyol sana, kota bersejarah yang pernah jadi pusat peradaban Islam Eropa. Kordoba yang dimaksud adalah akronim dari tiga tabiat atau watak pemimpin yang, menurut beliau, banyak bermunculan akhir-akhir ini, Koro-koroang, Otoriter, dan Balala.
Mari kita bicara satu-satu.
Koro-koroang
Kalau Anda bukan orang Makassar, mungkin agak bingung. Apa itu koro-koroang? Jangan-jangan semacam nama makanan atau penyakit. Tenang, ini bukan menu kuliner Makassar. Koro-koroang adalah istilah lokal untuk menyebut orang yang gampang marah, mudah tersinggung, bahkan tanpa alasan yang jelas.
Nah, bayangkan seorang pemimpin yang tiap hari wajahnya seperti siap meletus. Anda telat dua menit masuk rapat, dia langsung mencak-mencak. Anda salah ketik laporan, langsung murka satu jam. Padahal, kalau dipikir-pikir, kesalahannya sepele. Tapi ya itu tadi, pemimpin koro-koroang memang punya hobi bawaan, yaitu ngamuk.
Masalahnya, orang-orang begini sering kali merasa marahnya adalah bentuk ketegasan. Padahal, tegas itu bukan berarti teriak-teriak kayak toa yang bocor. Tegas itu soal konsistensi, bukan volume suara. Tapi apa daya, pemimpin koro-koroang lebih doyan show off emosi daripada pakai logika.
Otoriter
Kalau yang ini tentu tidak perlu kamus Makassar. Semua orang tahu arti otoriter. Dari kelas politik sampai rumah tangga, otoriter adalah gaya kepemimpinan yang seakan-akan dunia ini punya dia sendiri. Mau rapat? Dia yang putuskan. Mau bikin program? Harus sesuai kemauannya. Mau bikin acara? Jangan coba-coba punya ide yang beda, nanti dianggap pembangkangan.
Pemimpin otoriter ini biasanya alergi sama diskusi. Menurutnya, forum itu cuma formalitas. Sementara keputusan sudah ada di kepalanya sejak kemarin sore. Parahnya lagi, kadang pemimpin macam ini bangga menyebut dirinya “visioner”. Padahal, yang dia lakukan bukan visi, tapi semacam ramalan ala-ala dukun politik, “Pokoknya harus begini, kalau tidak ya akan gagal.”
Yang repot, otoriter sering lahir dari dua hal, yaitu trauma atau minder. Trauma karena dulu pernah diremehkan, jadi sekarang merasa harus berkuasa penuh. Atau minder karena sadar sebenarnya tidak punya kapasitas, makanya nutupin dengan cara menekan orang lain.
Balala
Nah, ini yang paling kocak sekaligus tragis. Kata “balala” dalam bahasa Makassar artinya rakus. Bukan sekadar doyan makan, tapi lebih ke rakus dalam arti serakah, serakah jabatan, serakah fasilitas, serakah pujian.
Pemimpin balala ini biasanya punya perut yang tidak pernah kenyang. Kalau ada proyek, dia duluan yang sikut kanan-kiri. Kalau ada fasilitas, dia duluan yang pakai. Kalau ada penghargaan, dia duluan yang pasang foto di baliho.
Ironisnya, pemimpin balala ini sering pintar bungkus rakusnya dengan jargon. “Ini semua demi institusi,” katanya, sambil menyelipkan honor kegiatan ke rekening pribadi. “Saya lakukan ini demi kemajuan lembaga,” katanya, sambil mengumpulkan jabatan rangkap macam kolektor perangko.
Lalu, apa jadinya kalau tiga sifat ini bercampur jadi satu? Lahirlah Pemimpin kordoba. Gabungan koro-koroang yang meledak-ledak, otoriter yang menindas, dan balala yang rakus. Bayangkan betapa epiknya hidup di bawah kepemimpinan macam itu. Setiap rapat serasa ikut gladi resik drama. Setiap kebijakan terasa seperti perintah raja. Dan setiap peluang organisasi, entah bagaimana, selalu berakhir di meja makannya.
Masalahnya, pemimpin kordoba ini bukan sekadar cerita horor. Kita sering ketemu langsung di kehidupan nyata. Di organisasi kampus, di kantor, bahkan di level pemerintahan. Mereka hadir dengan wajah meyakinkan, kadang berkedok religius atau akademis, tapi isi perutnya penuh hasrat menguasai.
Tentu saja, tidak semua pemimpin begitu. Masih banyak yang tulus, mau mendengar, dan siap berbagi ruang. Tapi jujur saja, kordoba ini seperti spesies yang tidak pernah punah. Ada terus, hanya berganti nama dan jabatan.
Pertanyaannya, apa kita harus pasrah? Tentu tidak. Setidaknya, kita bisa mulai dengan menyadari ciri-cirinya, supaya tidak ikut-ikutan jadi pemimpin macam itu. Karena siapa tahu, hari ini kita cuma anggota biasa, tapi besok bisa dapat giliran memimpin. Kalau tidak hati-hati, bisa-bisa kita juga kena sindrom kordoba, yang ngamukan, otoriter, dan rakus.
Pemimpin kordoba ini mengajarkan satu hal, bahwa tidak semua orang yang memimpin itu layak disebut pemimpin. Ada yang sekadar berkuasa, tapi tidak mampu mengayomi. Ada yang sibuk marah, tapi lupa mengarahkan. Ada yang gila jabatan, tapi lupa esensi tanggung jawab.
Jadi, kalau nanti Anda ditawari jabatan, coba bercermin sebentar, jangan-jangan benih kordoba sudah tumbuh diam-diam di hati Anda. Kalau iya, segera pangkas. Karena dunia ini sudah cukup penuh dengan pemimpin marah-marah, pemimpin otoriter, dan pemimpin rakus. Kita butuh yang sebaliknya, pemimpin yang mengayomi, dialogis, dan berbagi.
Kalau tidak, ya bersiaplah. Kordoba akan terus hidup, menyebar dari kampus sampai gedung parlemen. Dan kita, para warga biasa, hanya bisa mengeluh di pojok warung kopi sambil menertawakan betapa ajaibnya dunia kepemimpinan kita