ruminews.id – Di negeri ini, ironi sering tampil telanjang. Mereka yang berseragam putih yang semestinya disambut sebagai tanda keselamatan justru kerap diperlakukan layaknya musuh. Tenaga medis, garda terakhir kemanusiaan, berdiri di medan konflik dengan perban dan obat, namun yang menyambut mereka adalah pukulan, teriakan, bahkan perlakuan yang menghapus harkat kemanusiaan.
Bukankah ini pengkhianatan terhadap akal sehat? Bukankah sudah jelas hukum negeri ini Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023, Pasal 273 ayat (1) menjamin perlindungan bagi tenaga medis dalam tugasnya, bahkan di pusaran konflik paling getir? Lalu mengapa aparat masih tega merampas martabat mereka dengan kekerasan? Jika hukum tak lagi dihormati, maka sesungguhnya negara sedang mengikis nuraninya sendiri.
Sebagai mahasiswa kesehatan, kegelisahan saya tak bisa lagi ditahan. Kami dididik untuk merawat luka siapa pun, tanpa menanyakan bendera apa yang dikibarkan, atau ideologi apa yang diyakini. Tetapi bagaimana mungkin kami bisa menolong dengan tenang bila keselamatan diri kami pun tak terjamin? Apakah harus ada korban tenaga medis yang terbaring tak berdaya sebelum bangsa ini sadar bahwa tangan penyelamat tak boleh dipatahkan?
Negeri ini harus memilih: apakah ia masih menghormati kehidupan, atau ia rela membiarkan tangan yang seharusnya mengobati justru dipaksa menanggung luka. Kekerasan terhadap tenaga medis bukan hanya tindak brutal, melainkan kejatuhan moral bangsa.
Tenaga medis bukan tumbal kekerasan. Mereka hadir bukan untuk bertarung, tetapi menjaga denyut kehidupan. Bila negara terus membiarkan mereka dipukul, diinjak, dan diperlakukan sebagai musuh, maka sejatinya negara sedang menandatangani pengakuan: bahwa ia telah kehilangan nurani.