OPINI

PBB-P2 Bone: Pajak atau Pemerasan Legal? Ketika Target PAD Mengalahkan Akal Sehat


ruminews.id – Gelombang penolakan PBB-P2 di Bone bukan sekadar riuh demonstrasi. Ini adalah alarm moral tentang bagaimana kekuasaan memandang warganya, apakah sebagai subjek yang perlu dilibatkan, atau sekadar angka yang harus “menutup target” pendapatan. Ketika pajak yang seharusnya lahir dari kontrak sosial, Namun hal itu justru ditetapkan tanpa kejelasan metodologi, minim sosialisasi, dan lemah pengawasan, maka kepercayaan publik runtuh lebih dulu daripada angka realisasi PAD.

Faktanya, Pansus DPRD Bone menyetujui Ranperda RPJMD 2025-2029 dengan catatan tidak ada kenaikan PBB-P2 serta merekomendasikan penarikan SPPT dan kaji ulang. Namun di saat yang sama, target PAD 2025 disebut dipatok Rp490 miliar, yang bahkan oleh sebagian anggota Pansus sendiri dinilai tidak realistis dan berisiko kembali mendorong kebijakan pajak yang membebani. Kontradiksi inilah yang membuat publik bertanya: catatan “tanpa kenaikan PBB-P2” itu sungguh menjadi pagar kebijakan, atau sekadar kalimat penenang sesaat?

Sehari sebelumnya, DPRD sempat menahan persetujuan RPJMD dengan alasan penyesuaian PBB-P2 sekitar 65% dinilai tanpa kajian memadai dan minim koordinasi. Catatan BPK terkait pengelolaan pendapatan, piutang PBB-P2, dan pungutan yang tidak disetorkan juga disinggung, hal itu menandakan problem tata kelola yang belum rapi.

Di ruang informasi publik, narasi pun saling bertabrakan. Ada pemberitaan yang menyebut Pansus mengetok palu setuju kenaikan PBB-P2 karena target PAD melonjak; keesokan harinya dibantah oleh pimpinan Pansus yang menegaskan tidak ada anggota Pansus yang setuju kenaikandan yang disetujui adalah RPJMD dengan catatan. Kebingungan informasi seperti ini adalah gejala “defisit transparansi” yang justru memperlebar jarak pemerintah dengan rakyat.

Di lapangan, Aliansi Rakyat Bone Bersatu meminta audit ulang SPPT PBB-P2 dan imbauan penundaan pembayaran sampai kebijakan dibuka seterang-terangnya. Hal tersebut merupakan sebuah sikap defensif masyarakat ketika keadilan prosedural (keterbukaan data NJOP, ZNT, dan metode penilaian) tidak dirasakan.

Pada level nasional, Mendagri telah meminta kepala daerah menunda atau mencabut kebijakan kenaikan tarif/NJOP yang memberatkan dan mengkoordinasikan dulu perubahan kebijakan pajak dengan Kemendagri. Ini menegaskan bahwa legitimasi fiskal daerah tidak boleh melampaui asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Secara normatif, UU 1/2022 (HKPD) memang memberi kewenangan pajak ke daerah, dan PP 35/2023 mengatur teknis penyesuaian NJOP. Tapi kewenangan tanpa etika kebijakan hanya menjadikan pajak sebagai instrumen koersif, bukan gotong royong fiskal. Penegasan Mendagri agar kebijakan sensitif seperti PBB-P2 mempertimbangkan kondisi sosial- ekonomi adalah pengingat bahwa hukum pajak berdiri di atas kontrak sosial, bukan sekadar ayat normatif.

Mengapa kebijakan ini problematik?

Pertama, rasionalitas kebijakan lemah. Target PAD yang melompat jauh dari tren realisasi historis berpotensi “memaksa” instrumen pajak bekerja di luar daya dukung ekonomi warga. Ketika asumsi fiskal tidak realistis, instrumenpemungutan cenderung dipelintir agar mengejar angka, bukan keadilan. Pansus sendiri mengakui problem rasionalitas target tersebut.

Kedua, akuntabilitas teknis rapuh. Indikasi penetapan yang tidak ditopang kajian memadai, peraturan kepala daerah yang dipertanyakan, hingga catatan BPK tentang piutang dan pungutan menunjukkan rantai pengawasan yang longgar. Dalam teori keadilan fiskal, ketidakpastian prosedural sama merusaknya dengan beban tarif yang keduanya menggerus trust.

Ketiga, komunikasi publik buruk. Narasi resmi yang berubah-ubah dari setuju, tidak setuju, dan setuju dengan catatan, sehingga hal itu menciptakan “kebisingan kebijakan” yang memantik resistensi. Kepercayaan publik itu mahal, dan ia menuntut data, dialog, dan konsistensi, bukan sekadar klarifikasi.

Keempat, beban dialihkan ke rakyat.
Ketika tata kelola pendapatan daerah belum rapi, menaikkan PBB-P2 adalah jalan pintas paling mudah sekaligus paling tidak adil. Pemerintah daerah seharusnya menutup kebocoran, memperbaiki basis data, dan memperluas ekstensifikasi sebelum menyentuh tarif. Itulah makna prioritas etika fiskal dengan benahi pemerintahannya dulu, baru minta lebih dari rakyat.

PBB-P2 dan moralitas kekuasaan

Pajak bukan hanya soal angka, tapi peristiwa etis. PBB-P2 mengambil sebagian nilai dari tempat manusia berteduh yaitu tanah dan rumah. Karena itu, adab kebijakan menuntut metodologi yang transparan, partisipasi bermakna, dan pengawasan ketat. Tanpa ketiganya, pajak berubah dari sarana solidaritas menjadi instrumen pengambilalihan paksa.
Bila DPRD benar “menolak kenaikan” namun mengesahkan RPJMD dengan target PAD agresif, maka DPRD sekadar mencari aman secara retoris dengan memasang rem tangan di lisan, sambil menekan pedal gas di dokumen perencanaan. Konsekuensinya, beban operasional tetap berpotensi jatuh ke rakyat, entah lewat revisi Perbup, penyesuaian NJOP, atau razia ekstensifikasi tanpa pembenahan data. DPRD tidak bisa sekadar memberi catatan politis; DPRD wajib memastikan mekanisme pengaman (guardrails) yang operasional, terukur, dan diawasi publik.

Apa yang seharusnya dilakukan?

  1. Tarik dan audit terbuka SPPT bermasalah dengan membuka data NJOP, ZNT, pendekatan penilaian per-kelurahan/desa, beri akses audit masyarakat dan kampus. Ini sejalan dengan rekomendasi Pansus dan tuntutan warga.
  2. Bekukan kebijakan PBB-P2 2025 yang memberatkan selama audit berlangsung, merujuk arahan Mendagri agar setiap penyesuaian signifikan ditunda/dievaluasi dan dikoordinasikan dengan Kemendagri.
  3. Sertakan klausul eksplisit dalam RPJMD dan Perkada: “tanpa kenaikan tarif PBB-P2 dan/atau penyesuaian NJOP yang menambah beban bersih wajib pajak sebelum audit independen dan konsultasi publik tuntas.
  4. Perbaiki tata kelola PAD: tuntaskan rekomendasi BPK atas piutang, pencatatan, dan pungutan; lacak kebocoran sebelum minta kenaikan.
  5. Posko keberatan & pengukuran ulang di setiap kecamatan, dengan batas waktu dan standar layanan (SLA) yang jelas, serta penghapusan denda atas SPPT yang keliru.
  6. Ubah strategi PAD dari “tarif first” ke “basis first” dengan pemutakhiran data objek pajak,integrasi NIK-NIB-PBB, penertiban objek tidur, dan pelayanan daring yang memudahkan, bukan menekan.
  7. RDPU terbuka berkala antara Pemkab, DPRD, akademisi, dan aliansi warga atau Aktivis Mahasiswa daerah untuk mengevaluasi progres audit koreksi basis data, dan skema kompensasi bagi kelompok rentan (lansia, lahan non-produktif).

Keadilan dulu, baru angka.

Kenaikan PBB-P2 bukan sekadar kalkulasi fiskal, namun ia ujian apakah negara yang dalam manifestasi pemerintah daerah masih menghormati martabat warganya. Jika pemerintah kabupaten tergesa mengandalkan PBB-P2 untuk menutup ambisi PAD, sementara DPRD berlindung di balik “catatan” tanpa memastikan pagar kebijakan yang tegas, maka rakyatlah yang kembali menanggung risiko.

Kami dari KEPMI Bone Kecamatan Bengo menegaskan: benahi tata kelola dan pengawasan lebih dulu, tarik dan audit SPPT, tunda penyesuaian yang memberatkan, cantumkan larangan eksplisit dalam dokumen perencanaan, dan libatkan publik secara bermakna. Itulah jalan etis agar pajak kembali menjadi gotong royong, bukan penindasan yang dipoles regulasi.

Dan kepada para wakil rakyat, keberpihakan bukan diucapkan ataupun sekedar klarifikasi, melainkan dituliskan menjadi norma operasional serta diawasi pelaksanaannya, setia sampai akhir periode, bukan hanya sampai riuh massa reda. Karena keadilan fiskal bukan retorika tetapi ia adalah praktek keseharian kekuasaan.

Share Konten

Opini Lainnya

348feb5f-964b-4bf3-ac63-f218ba1fed20
Ketika Kemasan Lebih Dipercaya dari Kandungan
8e7925ba-492e-4d85-8cee-afe0fbf1826a
Hari Pangan, Kedaulatan Pangan : Dari Swasembada Menuju Ketahanan Berkelanjutan
4b5a934e-cdde-4267-8fbf-dac52985c670
Gubernur Geruduk, Purbaya Tak Gentar Menunduk
759c926a-8e1f-402a-8479-70664459fb9d
10 Catatan Kritis HMI Sulsel Sambut Kedatangan Menteri Kehutanan
IMG-20251008-WA0001
Asistensi Mengajar Mandiri: Inovasi Kampus Menjawab Keterbatasan Kebijakan dan Menguatkan Nilai Sosial Calon Guru
IMG-20251007-WA0033
Ikhtiar, Takdir, dan Misi Kader HMI dalam Menjawab Tanggung Jawab Zaman
f5563536-316d-41d3-a4aa-3491fbf6cf0f
Fenomena Kanda Karca: Belajar dari Senior untuk Melihat Dunia
b03bfafc-3c92-444e-9393-3368a865adb1
Makan Bergizi Gratis, “Cobra Effect” dan Sabotase?
IMG-20251005-WA0093
Menyambut Era Algoritmokrasi Ekonomi
585f3145-5819-44ef-a611-a3f5ed7eb9c9
Alibi Dangkal Menteri HAM: Keracunan MBG Bukan Pelanggaran HAM?
Scroll to Top