ruminews.id,- Makassar- “Catatan Bung Hatta tentang Al-Quran sebagai Pembimbing Hidup Umat Manusia” menjadi topik yang diperbincangkan Ma’REFAT INSTITUTE Sulawesi Selatan dalam mengisi agenda Ramadan kali ini. Bersama Forum Alumni Sekolah Pemikiran Bung Hatta (FA-SPBH) dan _Book Club_ Alumni SPBH-1, program “Membaca Kembali Bung Hatta” seri yang ke-4 dilaksanakan di Kantor LINGKAR-Ma’REFAT Makassar pada akhir pekan lalu, Minggu 16 Maret 2025.
Pertemuan sore itu menghadirkan Pemantik yakni, Zulkifli Tryputra sebagai Pembaca Utama yang merupakan Kepala Sekolah/Pendidik di SMP Lazuardi Athaillah dan Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam UIN Alauddin Makassar, serta Mohammad Muttaqin Azikin selaku Pembaca Pendamping yang merupakan Alumni Sekolah Pemikiran Bung Hatta (SPBH) Angkatan 1-LP3ES Jakarta.
“Setelah membaca dua halaman pertama buku ini, saya lalu menutupnya sementara waktu.” Dua halaman tersebut membawa Zulkifli melakukan penelusuran tentang latar belakang Bung Hatta, salah satunya adalah mencari jawaban mengapa Bung Hatta dianggap layak menulis tentang nilai-nilai agama dan Al-Quran. Dalam penelusurannya, Zulkifli menemukan fakta menarik bahwa dalam kehidupan Bung Hatta, beliau selalu berpegang kepada Al-Quran dan senantiasa bertaut dengan para ulama.
Zulkifli menceritakan, pernah suatu ketika, Bung Hatta bertemu dengan Buya Hamka. Dalam pertemuan itu, Bung Hatta bertanya, “Apakah benar semudah itu seseorang masuk surga, hanya dengan membaca doa tertentu dan membaca Al-Quran?” Buya Hamka begitu terpengaruh oleh pertanyaan tersebut, hingga ia membutuhkan waktu untuk memberikan jawaban. Akhirnya, Buya Hamka menjelaskan jawabannya dengan merujuk kepada tiga ayat dalam Al-Quran, yaitu surah Al-Baqarah: 214, surah Al-Baqarah: 124, dan surah Hud: 120. Dalam ayat-ayat tersebut, menguraikan tentang cobaan yang akan dihadapi oleh orang-orang yang beriman dengan penuh penderitaan dan kemelaratan.
“Ayat-ayat Al-Quran inilah yang mengilhami Bung Hatta untuk semakin menumbuhkan pengkhidmatan beliau dalam mencintai bangsa dan negara Indonesia dengan caranya sendiri,” kata Zulkifli dalam pemaparannya. Dari penghayatan terhadap ayat-ayat tersebut Bung Hatta memilih kehidupan yang sarat dengan perjuangan, penderitaan dan kesederhanaan. Dalam perjalanannya pula, Bung Hatta memahami bahwa Al-Quran diturunkan sangat dekat dengan konteks sosial, sehingga ayat-ayat Al-Quran mestilah diejawantahkan dalam kehidupan masyarakat.
Bung Hatta pernah berkata, “Perhatikan makna surah Al Fatihah, supaya terbuka pemikiran untuk memahamkannya terus-menerus.” Bung Hatta menafsirkan surah Al-Fatihah ke dalam enam poin, antara lain: hanya Tuhan yang disembah dan dipuji; hanya Tuhan tempat manusia takut; hanya kepada Tuhan manusia meminta dibimbing ke jalan yang benar, sebab itu manusia harus berani karena benar; hanya satu jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditunjukkan Tuhan; ujian yang diberikan Tuhan yang maha besar menguasai seru sekalian alam membawa kelanjutan bagi manusia bahwa yang besar hanya Allah, manusia semua sama rata; sifat yang dipujikan kepada Allah yang maha pemurah dan penyayang harus memperingatkan kepada manusia bahwa ia terhadap sesamanya harus kasih-mengasihi, tolong-menolong, hidup dalam persaudaraan dan tidak boleh tindas-menindas. “Dari tafsiran ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Bung Hatta merupakan sosok yang selalu memaknai ayat-ayat Al-Quran berhubungan dengan kehidupan sosial dan keadilan,” pungkas Zulkifli mengakhiri sesinya.
“Dalam penilaian saya, Bung Hatta merupakan sosok sufi yang revolusioner,” demikian pernyataan Muttaqin mengambil alih sesinya. Hal ini dapat dilihat dari proses perjalanan dan peran-peran jerih payah Bung Hatta untuk menjadi bagian dari kemerdekaan Republik Indonesia, dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran Islam.
Muttaqin mengungkapkan, tidak ada satupun tokoh bangsa yang punya kemampuan menulis seperti Bung Hatta, itu karena kemampuan membacanya dan ketinggian keilmuannya. Dalam pidatonya pada kegiatan Nuzul Al-Quran yang sedang dibahas dalam diskusi ini, Muttaqin mencatat setidaknya terdapat 18 surah yang diungkapkan oleh Bung Hatta beserta dengan penjelasannya yang sarat dengan dimensi kehidupan sosial.
Menanggapi hal tersebut, Zulkifli memberikan pandangannya, “Yang kuat dan mesti dicontoh dari Bung Hatta, bukan hanya kenyataan bahwa ia adalah seorang pembaca, melainkan juga adalah ia merupakan orang yang cakap dalam melakukan penghayatan.” Apa pun yang dibaca oleh Bung Hatta, entah itu buku ataupun ayat-ayat Al-Quran tak pernah selesai sebagai bacaan semata, namun beliau menghayati bacan-bacaan tersebut, mendekatkannya dengan kehidupan yang ia jalani.
Masih dalam tanggapan Zulkifli, ada uangkapan Bung Hatta dalam buku ini yang berkenaan dengan fakir miskin dan anak terlantar. Bung Hatta menulis, “Tetapi apa yang kita lihat di sekitar kita, di mana-mana terdapat orang-orang gelandangan, anak-anak terlantar, orang meminta-minta sepanjang jalan. Tidakkah kita merasa berdosa kepada Allah dengan membiarkan mereka hidup terlantar dalam negara kita yang mau melaksanakan sosialisme berdasarkan Pancasila? Orang-orang gelandangan dan meminta-minta itu, kebanyakan datang dari tempat lain yang harus dipandang sebagai musafir dalam perjalanan, yang menurut Al-Quran wajib diberi bantuan supaya jangan terlantar.”
“Negara kita Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, dan sila kelima adalah bentuk keadilan sosial, tujuan dari keadilan sosial ini ialah supaya rakyat terlepas dari kemiskinan hidup,” Ungkap Zulkifli menutup sesinya.
Muttaqin melanjutkan, pemikiran tersebutlah yang mendasari Bung Hatta menuliskan Pasal 34 UUD 1945, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.” Ini adalah hasil penghayatan yang dilakukan Bung Hatta atas pemahamannya tentang ayat-ayat Al Quran, sosialisme dan kehidupan sosial yang ia cermati.
Menurut Muttaqin, Bung Hatta tidak cukup hanya dipandang sebagai seorang ekonom, karena beliau merupakan “sosok orang Indonesia” yang kita inginkan, yang seharusnya cita-cita bangsa ini menuju untuk membentuk masyarakat Indonesia seperti sosok Bung Hatta. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Sukidi, Bung Hatta dalam perspektif Ibnu Arabi adalah _insan kamil_. “Karena memang tulisan, ucapan dan perbuatan Bung Hatta itu selaras, dalam artian apa yang ditulis Bung Hatta itulah dirinya dan yang dilakukannya,” ungkap Muttaqin menutup sesinya.
Ada banyak tanggapan dari para peserta yang hadir, salah satu di antaranya tentang pemikiran Bung Hatta yang begitu asing di kalangan kita saat ini. Kita hanya mengenal beliau sebatas Bapak Koperasi Indonesia. Namun, pemikiran-pemikiran beliau seolah ditutup perkembangannya di republik kita ini.
Dalam diskusi ini, hadir berbagai peserta dari latar belakang yang berbeda, mulai dari akademisi perguruan tinggi, mahasiswa, wirausahawan, hingga aktivis sosial dan lingkungan, berkumpul untuk membahas pemikiran Bung Hatta tentang Al-Quran. Diskusi berakhir pada pukul 17.30 WITA.[*]