ruminews.id – Bulan Ramadhan tidak menolong bumi selamat dari terkaman hasrat konsumsi manusia. Bulan Ramadhan sejatinya merupakan waktu yang penuh berkah bagi umat Muslim di seluruh dunia. Selama periode ini, umat Muslim menjalani puasa, memperbanyak ibadah, dan berbuat baik kepada sesama. Namun, di tengah semangat spiritual dan sosial tersebut, terdapat fenomena yang menarik untuk ditelaah: kesadaran akan gaya hidup hijau di kalangan masyarakat kelas menengah perkotaan dan kelompok milenial-gen Z yang sering kali tidak sejalan dengan praktik nyata mereka. Sebagai generasi yang dianggap peka terhadap isu lingkungan, mereka sering kali berkontradiksi dalam perilaku konsumsinya, terutama di bulan Ramadhan.
Di tengah efisiensi anggaran yang sedang dilakukan oleh pemerintah dan berdampak hingga ke daya beli masyarakat, Bulan Ramadhan tetap menjadi waktu di mana konsumsi baik itu pakaian, makanan dan minuman mengalami peningkatan. Berdasarkan laporan terbaru dari Redseer Strategy Consultants, total belanja masyarakat Indonesia selama Ramadan 2025 diperkirakan mencapai US$ 73 miliar atau setara Rp 1.188 triliun (Kontan.co.id, 2025) dan data yang selaras berdasarkan hasil survei Snapcart, sebanyak 44% responden Indonesia akan menghabiskan Rp1 juta hingga Rp3 juta untuk belanja Ramadan 2025 dengan perincian data bahwa proporsi responden yang akan membelanjakan uangnya sebanyak Rp3 juta hingga Rp5 juta untuk Ramadan 2025 sebesar 12% dan sementara itu, sebanyak 6% responden akan menghabiskan lebih dari Rp5 juta untuk belanja Ramadan di tahun ini (dataindonesia.id, 2025).
Peningkatan aktivitas konsumsi dalam hal makanan dan minuman ini kemudian memiliki implifikasi negatif ke lingkungan. Setiap pembelanjaan produk makanan dan minuman akan memberikan sampah. Konsumsi makanan yang meningkat selama bulan Ramadhan berdampak pada meningkatkan timbunan
sampah. Zerowaste.id (citarumharum.jabarprov.go.id, 2025) mirilis data bahwa produksi sampah naik sekitar 20% dan mampu menghasilkan 500 ton sampah di bulan ramadhan. Lebih parah lagi, di Bandung saja per satu harinya bisa mencapai 200 ton makanan yang terbuang. Sementara itu, dikutip dari detiknews.com (citarumharum.jabarprov.go.id, 2025) menjelaskan penghitungan data dari Paropong Waste Management, sebuah pusat daur ulang yang ada di Jawa Barat, yakni dari data yang mereka peroleh menunjukkan di Jakarta sendiri ada sekitar 200 ton sampah tambahan dalam sebulan Ramadhan. Dan berdasarkan data KLHK (kompasiana.com, 2024), sampah organik berupa sisa makanan mendominasi komposisi sampah tertinggi di Indonesia mencapai 41,2%, diikuti oleh sampah plastik 18,2%.
Salah satu alasan kenapa sampah menjadi lebih banyak pada saat Bulan Ramadhan adalah konsumsi sampah plastik yang berlebihan. Selama Bulan Ramadhan, orang-orang banyak yang mencari rezekinya dengan berdagang bermacam hidangan takjil. Para konsumen, karena seharian sudah menahan haus dan lapar. Maka ketika jajan, mereka cenderung jajan terlalu banyak. Biasanya sampah-sampah plastik dihasilkan dari jajanan-jajanan khas ramadhan, seperti kolak, cendol, gorengan, dan lain lain.
Gaya Hidup Hijau : Kesadaran dan Praktik
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan kesadaran akan isu-isu lingkungan di kalangan kelas menengah dan generasi muda. Ini terlihat dari banyaknya kampanye yang menggugah kesadaran akan bahaya plastik, praktik konsumsi berkelanjutan, dan pentingnya menjaga keberlanjutan lingkungan. Namun, meskipun ada kesadaran ini, terdapat kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku. Ketidak berhubungan atau gap antara kesadaran dengan praktik keseharian ini yang kemudian penulis sebut sebagai split collective behavior (keretakan perilaku kolektif) yang berdampak pada kehidupan menjadi parsialis dan tersegmentasi.
Bulan Ramadhan menjadi waktu di mana konsumsi makanan dan minuman meningkat pesat. Buka puasa sering kali diisi dengan sajian berlimpah, yang umumnya dikemas dalam plastik atau wadah sekali pakai. Ini bertentangan dengan semangat gaya hidup hijau yang mereka gaungkan. Data yang telah disebutkan diatas menunjukkan bahwa produksi sampah plastik meningkat tajam selama bulan Ramadhan. Kelas menengah dan milenial-gen Z, yang seharusnya menjadi pelopor dalam praktik hijau, justru menjadi salah satu penyumbang limbah terbesar. Mereka sering kali menggunakan kemasan makanan dari restoran atau tempat makan yang tidak ramah lingkungan.
Titik temu dari ketidakberhubungan kesadaran dengan praktik kesaharian ini terletak pada pandangan psikoanalisis yang menempatkan konsumsi sebagai fenomena tak sadar (unconscious) sebagaimana yang disebutkan oleh Piliang (2011). Kelas menengah dan kelompok milenial-gen Z melakukan aktivitas konsumsi di bulan Ramadhan pada dasarnya berada pada kondisi ketidaksadaran, karena ada pada kondisi ketidaksadaran sehingga ideologi yang tidak ada ideologi yang mucul, ketidakadaan ideologi ini yang membuat praktik keseharian Kelas menengah dan kelompok milenial-gen Z menjadi absurd landasan geraknya.
Ada tekanan sosial yang dirasakan oleh Kelas menengah dan kelompok milenial-gen Z untuk tampil bersama dengan teman-teman atau lingkungan sekitar pada momen Buka Bersama misalnya, yang sering kali berujung pada konsumsi berlebihan. Alih-alih bergerak kearah kesadaran yang lebih berkeseimbangan justru membuat cita-cita gaya hidup hijau menjadi hanya sebatas jargon, semu prestise, citra yang menggiring masyarakat ke arah hipnotis konsumerisme.
Gaya hidup hijau yang hanya menjadi citra semu merupakan bentuk dari masih rendahnya tanggung jawab individu dan kolektif dari Kelas menengah dan kelompok milenial-gen Z. Masih rendahnya tanggung jawab individu dan kolektif tersebut tidak pelak akan memunculkan resikonya. Beck (2015) menuturkan pergeseran dalam masyarakat modern dari masyarakat industri menuju masyarakat yang lebih sadar akan risiko yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Dalam konteks ini, risiko bukan hanya dianggap sebagai fenomena yang dapat dihindari, tetapi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari yang mempengaruhi individu, komunitas,
dan lingkungan. Melonjaknya sampah plastik berdampak langsung pada lingkungan. Penumpukan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) dapat menyebabkan pencemaran tanah dan air. Selain itu, pembuangan sampah plastik yang sembarangan dapat menyebabkan masalah serius, seperti banjir akibat penyumbatan saluran air. Sampah plastik yang terbuang sembarangan menjadi sarang bagi berbagai jenis penyakit. Genangan air di sekitar sampah plastik dapat menarik vektor penyakit, seperti nyamuk, yang dapat mengakibatkan wabah demam berdarah atau malaria. Penumpukan plastik juga berpotensi mengeluarkan zat berbahaya yang dapat mencemari lingkungan dan mempengaruhi kesehatan manusia. Selain risiko lingkungan dan kesehatan, peningkatan sampah plastik juga menimbulkan masalah sosial dan ekonomi. Masyarakat yang tinggal di sekitar TPA sering kali mengalami dampak sosial yang serius, seperti penurunan kualitas hidup, stigma sosial, dan bahkan konflik akibat sengketa penggunaan lahan. Ekonomi lokal juga terpengaruh, mengingat biaya pengelolaan sampah meningkat seiring dengan volume sampah yang terus bertambah.
Bulan Ramadhan seharusnya menjadi momen refleksi dan perubahan positif, tidak hanya dalam aspek spiritual, tetapi juga dalam praktik sehari-hari, termasuk perilaku konsumsi yang ramah lingkungan. Bulan Ramadhan dicita-citakan menjadi ruang yang menghilangkan logika hasrat dan logika citra justru menjadi ruang percepatan proses kehancuran. Masyarakat kelas menengah dan milenial-gen Z memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor dalam menerapkan gaya hidup hijau. Namun, untuk mewujudkannya, diperlukan upaya kolektif dalam mengedukasi, memberikan alternatif, dan membangun kesadaran yang lebih mendalam agar kesadaran yang tinggi tidak hanya menjadi omong kosong, tetapi sebuah tindakan nyata yang berdampak positif bagi lingkungan.