ruminews.id, – Merantau ke eropa jangan jadi orang barat, merantau ke kota jangan jadi orang kota, tapi banggalah jadi orang desa karena kita lahir dari desa dan hidup dalam keromantisan nuansa alamiah desa. Aku melihat ada semacam gaya orang – orang pos moderenisme yang jauh dari prinsip kehidupan desa, meraka cendrug individualis dalam melakukan tata kehidupan bermasyarakat.
Indonesia, sebagai negara dengan keberagaman budaya dan geografis yang sangat luas, memiliki berbagai lapisan kehidupan masyarakat yang tersebar dari kota hingga desa. Masyarakat desa sering kali dipandang sebelah mata oleh sebagian orang – orang kota, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar. Namun, bagi ku, menjadi bagian dari masyarakat desa bukanlah hal yang perlu direndahkan, melainkan sesuatu yang patut dibanggakan. “Aku bangga jadi orang desa” bukanlah sekadar slogan, tetapi merupakan suatu pernyataan yang mencerminkan nilai-nilai, tradisi, dan kehidupan yang lebih manusiawi serta penuh makna.
Sebagai orang desa, saya merasakan langsung bahwa kehidupan di desa menawarkan berbagai kelebihan yang seringkali tidak ditemukan di perkotaan sana. Salah satu hal yang paling menonjol adalah kedekatan dengan alam. Karena kehidupan di desa mengajarkan kita untuk hidup lebih dekat dengan alam dan saling bergantung pada sumber daya alam yang ada di sekitar kita. Tanpa harus menggantungkan hidup pada teknologi canggih atau pasar global yang menindas Masyarakat desa.
Masyarakat desa memiliki cara-cara tradisional yang telah teruji dalam bertahan hidup. Pertanian, peternakan, kelautan dan kerajinan tangan menjadi mata rantai pencaharian utama yang tidak hanya memberikan kontribusi besar bagi perekonomian lokal, tetapi juga mempertahankan kelestarian lingkungan serta kebudayaan Nusantara yang begitu melimpah.
Orang desa memang tidak semaju orang – orang kota dengan dipenuhi segala bentuk fasilitas modern dan perkembangan tekhnologi yang pesat. Tapi aku lebih suka mendengarkan Radio dengan merek Tuning di tengah pematang sawah sambil mendengarkan kicauan burung sebagai penanda bahwa senja akan tiada.
Karena dunia satandarisasi kota telah merorongrong prinsip gotong royong yang menjadi simbol akan identitas desa. Aku merasa generasi desa telah kehilangan jati dirinya akibat gaya modernis ini, iya telah menjadi bagian dominasi dari pengaruh yang tak terbendung, apalagi dengan gaya ke barat – baratan. Hingga kopi pekat yang tumbuk embah tidak lagi menjadi minuman pagi yang menyegarkan, tapi kalah saing dengan koktail yang di anggap sebagai lambang dari kemajuan.
Kita harus mengembalikan kemurnian desa karena desalah yang menempa kita dari ketidaktauan akan segala hal. Maka aku bangga jadi orang desa yang selalu menginginnkan kealamiahan itu, sambil menikmatmati indahnya Pantai laut kajuaro bukan tentang Gedung tinggi yang mencakar kewibawaan tanah moyangku.
Barangkali aku disebut orang – orang kuno yang tidak mengenal arti sebuah arus modern, sampai – sampai dibilang jumud, tradisionalis. Tetapi, lebel itu tak membuat aku gundah justru dengan lebel tersebut aku mengerti bahwa kehidupan ini bukan hanya tentang westernisasi tapi sebuah ke otentikan yang harus kita pelihara secara terus menerus.
Bayangkan orang – orang kota untuk melihat matahari terbit dari timur harus mengeluarkan cukup uang agar bisa menikmatinya. Tapi di desa aku menikmati matahari terbit dengan sempurna tidak ada Gedung yang jadi penghalang seperti di kota. Desa telah memberikan warna hidup sederhana bagi manusianya. Tidak harus pontang panting dalam mengejar duniawi.
Namun, di balik keindahan dan ketenangan itu, ada kisah-kisah yang sering kali terlupakan oleh mereka yang terbuai oleh gemerlap lampu kota. Ada cerita tentang tanah yang digarap dengan penuh cinta dan kasih, tentang tangan-tangan yang merawat tanaman dengan harapan yang tulus, dan tentang embun yang jatuh di pagi hari, membasahi bumi yang telah lama menanti. Di desa, ada sebuah kesatuan yang tak terlihat oleh mata dunia yang terbiasa mengukur segala sesuatu dengan logika dan ukuran material. Di sana, kami bukan hanya sekadar bertahan hidup, tetapi kami hidup dalam harmoni, mengalir bersama ritme alam yang tak pernah berubah.
Bagi kami yang terlahir di tanah desa, setiap suara angin yang berhembus seolah membawa pesan dari leluhur. Setiap daun yang berguguran dari pohon, adalah titipan sejarah yang tak ingin dilupakan. Di desa, kehidupan tidak terburu-buru, tidak dijejali dengan hiruk-pikuk mesin, tidak dikejar-kejar oleh waktu yang tak pernah bisa ditahan. Semua berjalan dengan kesederhanaan yang memikat, menyentuh jiwa yang terkadang terasa kering di tengah kemewahan dunia yang serba instan.
Aku bangga jadi orang desa kerena pola makanku tidak seperti orang – orang kota yang cendrung kapitalis. Makanan desa ku berasal dari tempaan alam, hasil olahan ladang dan laut bergelombang. Aku menyebutnya marhanisme. Bukan kapitalisme yang ada di kota – kota.
Di sisi lain, sebagai orang desa, aku merasa sangat beruntung bisa hidup dalam sebuah komunitas warga desa yang tidak hanya mempertahankan tradisi, tetapi juga berusaha untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Proses adaptasi ini tidak selalu mudah, namun masyarakat desa memiliki daya juang yang sangat kuat untuk menjaga keseimbangan antara mempertahankan budaya lokal dan memanfaatkan kemajuan teknologi.
Misalnya, di beberapa desa, ada teknologi pertanian yang ramah akan lingkungan mulai diperkenalkan untuk meningkatkan hasil pertanian tanpa merusak alam dan tradisi lokal. Desa juga mulai mengakses internet untuk memasarkan produk mereka secara lebih luas, sehingga mereka tidak lagi terjebak dalam pasar lokal yang terbatas agar tidak di kritik kumuh oleh mereka – mereka yang paling modernis.
Akhirnya, sebagai orang desa, saya bangga bukan hanya karena tempat saya berasal, tetapi karena saya dilahirkan dan dibesarkan dalam sebuah ruang yang penuh dengan kedamaian hingga mengajarkan saya arti sebuah kehidupan yang sejati. Di desa, saya belajar untuk tidak pernah melupakan akar saya yang tumbuh, untuk selalu merendah dan menghargai orang lain, untuk menjaga keseimbangan dalam setiap langkah yang saya ambil. Desa adalah rumah, bukan hanya tempat tinggal, tetapi tempat di mana hati saya merasa damai, tempat di mana kebanggaan itu tidak berasal dari apa yang saya miliki, tetapi dari bagaimana saya menjalin hidup yang penuh makna dengan sesama.