Saudara-saudariku yang saya cintai dan saya sayangi se-Sulawesi serta seluruh Nusantara. Sebelumnya, pada era PuangTa’ Datu I La Galigo Opunna Addatuang Cina’ (Sebuah Kedatuan yang se-era dengan Kedatuan Luwu dan menjadi asal usul istilah To Ugi yang merujuk pada nama Rajanya yaitu PuangTa’ Datu “La SattumpUgi” Datu Cina’ sehingga To Ugi berarti “Pengikut atau Orang-Orang atau Warga dari PuangTa’ La SattumpUgi Datu Cina'” yang diprakarsai oleh OpunTa’ Sawerigading Opunna WarE’ karena sangat menghormati mertuanya sebagaimana beliau menghormati kedua orangtuanya di Kedatuan Luwu sehingga penduduknya tidak lagi disebut To Cina’ tapi To Ugi’, yang juga Kedatuan tersebut dikemudian hari mengubah namanya menjadi Kedatuan Pammana-Wajo), OpunTa’ We Tenri’ Dio’ Opunna Putabangun Datu Ri SilajaRa’ dan PuangTa’ Opu We Tenri’ Balobo Opunna Takalala Addatuang Cina’ (Takalala merupakan salah satu wilayah di bagian timur Kedatuan Cina’ sebelum Kedatuan Soppeng muncul) telah dikenal gelar “Batara” untuk Seorang Datu (Raja) karena kakeknya dari garis Ayahanda OpunTa’ Sawerigading Opunna WarE’ yang merupakan seorang To-Manurung dengan gelar Batara Guru pendiri Kedatuan Luwu, “Puang” ketika seorang Pemimpin tersebut juga berdarah Pemimpin dari wilayah To Latimojong Manai’ (Wilayah To Duri [Enrekang] dan khusus To Luwu dari Pegunungan Latimojong Bagian Timur) karena kakeknya juga dari garis Ibunda PuangTa’ Datu We Cudai Daeng Risompa Datu Cina’ yang bernama PuangTa’ Datu “La Tenri’ Angke'” pendiri Kedatuan Cina’ yang berasal dari daerah Pegunungan Latimojong), “Opu” untuk seorang Pangeran atau Pemimpin Lokal yang juga merupakan representasi Datu dan “Daeng” yang berarti Tuan dan dipertuan karena seorang Putera-Puteri Mahkota dari turunan To-Manurung Sang Pembawa Peradaban Luwu – Bugis Kuno – Makassar Kuno. Adapun istilah “Petta (WarE’/Bugis)” dan “Patta (Selayar dan Makassar)” berasal dari kata PuwatTa’ dan kata PuwatTa’ berasal dari kata PuangTa’ yang berarti “Tuan Pemimpin kita” yang merupakan sapaan bagi orang-orang yang mempunyai kedudukan pada sebuah kerajaan serta sebagai gelar tambahan bagi seseorang yang merupakan seorang Arung (Kepala Wilayah) dari kerajaan-kerajaan tersebut yang berdiri pada sekitaran akhir abad 13 dan sekitaran awal abad 14 pasca fase PuangTa’ I La Galigo. Penggunaan istilah Petta (WarE’/To Ugi) atau Patta (Makassar) juga ditujukan bagi orang-orang yang mempunyai “Pa’-Daeng-Ang” Ana’ Opu (Keopuan Selayar), Ana’ Datu Ri Wanua Ugi – Arung (Kedatuan Pammana, Kedatuan Suppa, Kedatuan Sidenreng-Rappang, Kedatuan Soppeng Ri Aja – Ri Lau, Kesultanan Mangkau Bone, Kedatuan Sawitto, Kearungan Wajo dan Kerajaan To Ugi lainnya) dan Pa’daengang Ana’ Karaeng (Kesultanan Somba Gowa-Tallo’) yang telah menikah sehingga bagi orang-orang yang mempunyai Pa’daengang Ana’ Opu, Datu Ri Wanua Ugi – Arung dan Ana’ Karaeng tersebut tidak lagi disapa dengan nama Pa’daengangnya melainkan dengan sapaan nama Pettanya jika ia dari Adat Bugis dan nama Pattanya jika ia dari Adat Makassar. Oleh sebab itu pula penggunaan Pa’daengang juga pada Adat Bugis dan Makassar (kecuali Adat Luwu, Siang [Kedatuan Siang adalah Kekaisaran Makassar Kuno yang menaungi kerajaan-kerajaan besar termasuk Kerajaan Gowa awal, Suppa awal dan lainya namun runtuh karena persekutuan Kerajaan Luwu, Gowa, Wajo dan Mandar pada awal abad 16] Selayar dan Adat Mandar karena Pa’daengang ditujukan bagi Anak Raja, Keluarga Raja atau Bangsawan Tinggi) itu kemudian terbagi menjadi dua penggunaan Pa’daengang sesuai dengan Pangadereng/Pangadakkang Wari’ Bugis dan Makassar, “yang pertama” Pa’daengang Ana’ Arung (Anak Raja dari Kerajaan Bugis) atau Ana’ Karaeng (Anak Raja dari Kerajaan Makassar) dan “yang kedua” Pa’daengang untuk kalangan Ana’ To Deceng (Seorang anak dari peranakan Bugis yang masih keturunan Raja tapi sudah bukan kategori Bangsawan karena telah keluar dari kategori Ana’ Cera’) atau Ana’ To Baji’ (Seorang anak dari peranakan Makassar yang masih keturunan Raja tapi sudah bukan lagi bangsawan karena telah keluar dari katergori Ana’ Cera’). “Perbedaan” dari seseorang yang mempunyai Pa’daengang Ana’ Arung atau Ana’ Karaeng tersebut dengan seseorang yang juga menggunakan Pa’daengang dari kalangan Ana’ To Deceng atau Ana’ To Baji’ adalah bilamana Ana’ dengan Pa’daengang Ana’ Arung atau Ana’ Karaeng ketika telah menikah tidak disapa lagi dengan Pa’daengangnya melainkan dengan sapaan Petta atau Patta (Contoh; Daeng Lawa [Bugis] dan Daeng Baso’ [Makassar] ketika telah menikah, kedua orang tersebut tidak disapa lagi dengan Daeng Lawa dan Daeng Baso’ namun disapa dengan sebutan Petta Lawa [Bugis] dan Patta Baso’ [Makassar]) sementara dari kalangan dengan Pa’daengang Ana’ To Deceng (Bugis) atau Ana’ To Baji (Makassar) ketika telah menikah biasanya disapa dengan Ambo dan Tetta (Contoh; Daeng Deceng [Bugis] dengan Daeng Baji [Makassar] ketika telah menikah maka kedua orang tersebut disapa dengan Ambo Deceng [Bugis] dengan Tetta Baji [Makassar]). Sementara orang-orang yang biasa disapa dengan Opu (Luwu dan Selayar), Puang yang kadang kala disapa dengan sebutan Petta (Bugis) atau Karaeng (Makassar) tanpa sapaan Pa’daengangnya dan belum menjadi Opu/Arung/Karaeng (Kepala Wilayah) itu karena mereka-mereka seorang Pangeran Adat dan tentu pula itu karena mereka orang-orang yang masih berdarah dengan derajat Mattola Angngileng/Samaraja/Ti’no Manrapi’, Sangaji, Rajeng/Manrapi dan Cera’ tapi dalam konteks Cera’ Sengngeng Ri MallinrungE atau Cera’ Pati Matarang.

Perlu diketahui juga bahwa di daerah Selayar Kuno masyarakat awalnya merupakan sebuah “komunitas tersendiri” yang berbeda dengan para penduduk dari wilayah “To Bawakaraeng Manai'” yang meliputi Pujananting (Barru), Pangkep, Maros, Kota Makassar, Gowa, Takalar, Je’ne’ponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai dan sebagian dari bagian selatan Bone “di zaman itu” sebelum ada istilah Bugis-Makassar karena dulu sebelum ada istilah tersebut pada “bagian selatan Sulawesi Selatan” penduduknya disebut dengan To Bawakarang Manai’ kecuali Selayar Kuno karena mempunyai komunitas tersendiri. Sementara di “bagian utara Sulawesi Selatan” penduduknya disebut dengan “To Latimojong Manai'”. Masyarakat Federasi Keopuan Selayar pada saat itu dipimpin oleh Opu atau Kepala Wilayah dengan orang-orang yang bergelar “Lalaki” di masing-masing wilayah Keopuan Selayar, ketika I We Tenri Dio ke Selayar dan diangkat menjadi Opu Putabangun, ia juga dinikahkan dengan saudara sepupunya yang bernama Lalaki Sigaya. Jadi masyarakat Selayar tidak menyebut Karaeng kepada Kepala Wilayah atau Pemimpin dan Pangerannya atau Bangsawannya melainkan Opu yang dipertuan (di-Pa’Daeng-kan) sebagai Pemimpin.
Seiring berjalannya waktu karena banyaknya laki-laki dari kalangan keluarga Raja yang menikahi perempuan dari kalangan masyarakat umum sehingga sejak 1880an-1930an dijadikanlah Istilah Andi sebagai penanda pada kaum bangsawan yang digunakan pada awalan nama pada anak bangsawan yang masih berdarah Mattola (100%-95% Putera Mahkota; anak dari Raja dengan Permaisuri), Sangaji (95%-90% Putera Mahkota *jika Ana’ Mattola tidak ada; seorang anak dari pernikahan turunan Raja Bugis dengan turunan Raja Makassar atau sebaliknya), Rajeng (85%-70% Putera Mahkota *jika Ana’ Sangaji tidak ada; anak dari Raja dengan Istri dari kalangan bangsawan tinggi tapi bukan Permaisuri Raja) dan Cera’ (50% Putera Mahkota *jika Ana’ Rajeng tidak ada kecuali konteksnya ia seorang Cera’ Sengngeng Ri MallinrungE atau Cera’ Pati Matarang; anak dari Raja dengan Istri dari kalangan To Deceng atau Masyarakat Umum) sampai Cera’ 3 (12,5% sudah bukan Putera Mahkota tapi masih kategori bangsawan atau kerabat raja karena Ayahnya yang berstatus Cera’ 2 [25% berdarah Raja Wija To-Manurung] menikah dengan seorang perempuan dari kalangan masyarakat umum). Perlu diketahui juga bahwa dalam Adat Luwu-Bugis-Makassar-Mandar merupakan suatu hal yang terlarang bagi seseorang yang tua secara umur dari kalangan masyarakat umum menyebut “ANRI” kepada seorang anak dari kalangan keluarga raja karena anak tersebut merupakan calon penerus raja atau simbol, olehnya anak dari kalangan raja atau keluarga raja tersebut harus disapa dengan “ANDI” jika umurnya masih muda atau boleh disapa dengan Opu Lolo (Luwu dan Selayar), Karaeng Lolo (Makassar) atau Petta Lolo (Bugis) jika anak tersebut Putera Mahkota atau Pangeran, sehingga secara etimologi atau asal usul kata “Andi” yang menjadi awalan nama dan penanda para anak bangsawan Sulawesi berasal dari sapaan ketika ia masih kecil yang wajib disapa dengan “Andi” bukan “Anri”. Bersamaan dengan hal tersebut, penggunaan “Daeng” juga digunakan oleh kalangan Ana’ To Deceng (Bugis) atau To Baji’ (Makassar) selain dari Penggunaan Pa’daengang dari kalangan Ana’ Opu/Arung/Karaeng yang notabene awalnya Pa’Daengang hanya ditujukan bagi Bangsawan Tinggi Secara Darah (Ana’ Mattola, Ana’ Sangaji dan Ana’ Rajeng serta Ana Cera’ namun dalam konteks Cera’ Sengngeng Ri MallinrungE atau Cera’ Pati Matarang). Pada masa Kerajaan memang ada yang mengurusi pembatasan kelas-kelas masyarakat dalam bertingkah laku, bertutur kata, cara hidup dan kehidupan yang menurut ukuran nilai orang-orang dahulu kala itu memang wajar dan pantas dibedakan yang disebut dengan istilah WARI’ yang berdasar pada Pangadereng/Pangadakkang Wari Luwu/Bugis/Makassar/Mandar. Secara umum di Sulawesi, lapisan masyarakat saat itu penggolongannya ada dari kalangan kaum bangsawan (Ana’ Mattola [100%-95%], Sangaji [95%-90%]), Rajeng [85%-70%], Sawi [65%], Mattola Matase’ Sawi [60%], Cera’ Matase’ [55%], Cera’ 1 Mattola Sawi [50%], Cera’ 2 Mattola Sawi [25%] dan Cera’ 3 Mattola Sawi [12,5%]), To Deceng/To Baji (5%-2,5% [keturunan raja tapi sudah bukan bangsawan karena telah keluar dari kategori Ana’ Cera’/Bangsawan Separuh]), To Sama (0% Darah To-Manurung) dan Ata (Abdi Pelayan). Yang perlu digaris bawahi juga adalah ada Golongan Ata yang istilahnya ATA MACENNING, ATA MAKESSING, Ata Budak (Orang Kalah Judi Sabung Ayam sampai mengorbankan dirinya menjadi Abdi Pelayan karena Kehabisan Harta Benda), Ata Mana dan Ata Sanra. “Golongan Ata Maccening” dan “Ata Makessing” ini diambil dari keluarga raja sendiri untuk membantu mengatur keperluan raja, memberikan edukasi mengenai “Wari” kepada pekerja di rumah istana raja. Golongan Ata Maccening dan Ata Makessing itu berasal dari keluarga raja sendiri, walaupun ia juga sebagai Ata dalam konteks Abdi Raja karena melayani raja sehingga orang-orang yang berstatus bangsawan tersebut sering juga disebut sebagai salah satu orang kepercayaan raja, analoginya kalau jaman sekarang disebut sebagai ajudan pribadi. Apa yang membedakan dari golongan-golongan tersebut adalah mengenai nama, pa’daengang, mengenai timpa laja rumah, mengenai mas kawin, mengenai pakaian, mengenai tempat tidur, mengenai tempat duduk, mengenai hadiah dan lainnya yang kesemuanya tersebut diatur dalam Pangadereng (Luwu/Bugis)/Pangadakkang (Makassar) Wari’ karena Pangadereng/Pangadakkang Wari’ adalah aturan adat atau roadmap dalam bermanusia Luwu/Bugis/Makassar/Mandar.
Salah satu kekhawatiran di masa depan bagi para raja beserta jajaran dan masyarakatnya apabila telah habis Ana’ Mattola, Ana’ Sangaji, Ana’ Rajeng dan Ana’ Cera’ maka sudah tidak ada lagi yang bisa di angkat menjadi Raja (sekarang Pemimpin Adat karena para Raja-Raja dahulu yang rata-rata Raja-Raja tersebut menggunakan ANDI pada awalan namanya telah melegowokan tanah kerajaannya kedalam wadah NKRI sebagai salah satu totalitas perlawanan kepada Hindia-Belanda) sehingga digunakanlah istilah Andi itu sebagai penanda yang masih keturunan atau kerabat raja pada masing-masing awalan namanya, “meskipun” tanpa perlu menggunakan Andi pada awalan namanya jika darahnya masih kental secara darah To-manurung berdasarkan Wari Pangadereng/Pangadakkang yang ditandai dengan regalia kerajaan atau pusakanya dan silsilahnya untuk menjadi Pemimpin Adat karena tentu untuk menjadi Pemimpin Adat harus masih kental darah turunan To-Manurungnya serta kompeten. Namun sekalipun Ana’ Mattola yang diangkat jika tidak ada atau tidak kompeten maka bisa digantikan dengan Ana’ Sangaji sebagai Pimpinan Pemangku Adat, jika Ana’ Sangaji tidak ada atau tidak kompeten maka digantikanlah dengan Ana’ Rajeng, jika Ana’ Rajeng tidak ada atau tidak kompeten maka Ana’ Rajeng digantikan dengan Ana’ Cera’ (50% berdarah turunan To-Manurung). Jika tidak ada satupun atau telah habis Ana’ Opu/Arung/Karaeng yang menduduki tahta kepemimpinan adat maka dianggap kerajaannya bubar (Sekarang Lembaga Adat Kerajaan). Olehnya itu mempelajari Silsilah sangatlah penting (Bukan mau dikata sebagai keturunan raja atau sekadar hanya ingin mendapatkan kompensasi dalam bentuk pengakuan dengan seolah-olah berkedok melestarikan budaya namun ingin dikata sebagai seorang bangsawan turunan To-Manurung) itu dalam rangka mengetahui apakah kita seorang Ana’ Mattola, Sangaji, Rajeng dan Cera’ sehingga pantaskah kita menjadi Pemimpin Adat hari ini atau mengisi kedudukan Pemangku Adat sesuai dengan Pangadereng/Pangadakang Wari’ Luwu/Bugis/Makassar/Mandar?
Kembali bertamasya ke akhir abad 19 dan awal abad 20, pada tahun 1905 lagi-lagi para Kompeni kembali bermanuver dengan Politik Pasifikasi yang artinya seolah-olah damai namun pada dasarnya merupakan sebuah rencana untuk menjaga kedudukannya di Nusantara. Saat itu tersisa Kesultanan Aceh dan Kesultanan Sulawesi bagian selatan yang belum kooperatif oleh Belanda. Ditahun tersebut pula berakhir perang Aceh yang disponsori Alm. Cut Nyak Dien. Jauh sebelumnya juga Belanda telah mengirim Antropolog yaitu Snouck Horgronye ke Aceh sebagaimana Benjamin Frederik Matthes ke Sulawesi namun Snouck Horgronye merupakan seorang Antropolog yang destruktif. Pergerakan tersebut ditujukan ke beberapa kerajaan-kerajaan besar diantaranya Kedatuan Luwu, Kesultanan Somba Gowa-Tallo dan Kesultanan Mangkau Bone. Perang Gowa berakhir ditandai dengan gugurnya Somba Gowa Alm. Sultan Husain Karaeng Lembang Parang sementara Perang Bone yang setelah berakhir dikenal dengan istilah Rumpa’na Bone yang ditandai dengan gugurnya putera mahkota sekaligus panglima perang, Alm. Petta PonggawaE. Disusul pula dengan ditangkapnga Arumpone Alm. La Pawawoi Karaeng Sigeri di pegunungan Awo,
oleh sebab itu Belanda mencoba mengajukan Korte Veklaring kepada seluruh kerajaan-kerajaan di Sulawesi seperti Luwu, Pammana, Selayar, LimaE Ajatappareng, Soppeng, Gowa-Tallo, Bone, Marusu, Wajo, Barru dan kerajaan-kerajaan lainya karena perang tersebut dilatar belakangi oleh Belanda yang gencar memperbaharui Perjanjian Bongayya secara spesifik kepada kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan melalui Large Veklaring pada tahun 1880an, merupakan sebuah perjanjian panjang yang berisi hubungan spesifik antara Hindia-Belanda dengan kerajaan-kerajaan lokal. Pasca penandatangan tersebut bukan berarti Sulawesi Selatan telah bersih dari perlawanan, diantaranya tercatat perlawanan Alm. I Tolo Daeng Magassing yang merupakan mantan Komandan Pasukan Kerajaan Gowa-Tallo yang disokong oleh Alm. Ishak Manggabarani seorang Tumabicara Butta Gowa-Tallo yang merangkap sebagai Arung Matowa Wajo hingga perlawanan tersebut baru padam pada tahun 1916, demikian pula dengan perlawanan di Bone bagian selatan oleh Alm. Petta Arung Labuaja beserta jajaran. Meskipun demikian Belanda tidak benar-benar mampu berkooperatif dengan masyarakat Sulawesi Selatan apalagi Perang Dunia I di Eropa juga berdampak pada ketidakfokusan Belanda dalam bermanuver, nantilah pada tahun 1926 dan seterusnya Belanda beranggapan bahwa kondisi Sulawesi bagian selatan mungkin telah stabil.
Efek Domino Korte Veklaring, paham akan ketidakmampuan Hindia-Belanda untuk membersamai langsung masyarakat di Sulawesi Selatan, maka kerajaan-kerajaan direstorasi kembali dengan pertimbangan agar saling kooperatif antara Hindia-Belanda dengan Kerajaan-Kerajaan Lokal untuk kepentingan bersama dan struktur serta administrasi kerajaan direjuvenasi dengan format administrasi yang lebih modern sesuai dengan standar administrasi internasional sehingga secara otomatis penambahan tugas pejabat adat bertambah namun gelar jabatan tetap. Untuk itu dicarilah masing-masing putera mahkota atau pangeran disetiap kerajaan dengan mempertimbangkan derajat darah kebangsawanannya guna mengangkat kembali raja dalam merestorasi kerajaan-kerajaan yang vakum karena efek domino terintegrasinya seluruh penduduk Sulawesi Selatan dalam melakukan perlawanan kepada Belanda.
Hindia-Belanda sebelumnya juga telah mencanangkan Politik Etis yang merupakan sebuah kebijakan Politik Balas Budi terhadap kerajaan-kerajaan. Olehnya itu dibangunlah sekolah-sekolah seperti HIS, MULO dan OSVIA sebagai wujud Kebijakan Educatie yang bersamaan dengan itu pada Era Zelfbestuur tersebut dibentuk sebuah Komisi Stanboom di masing-masing kerajaan guna meregistrasi bangsawan Luwu-Bugis-Makassar-Mandar yang telah mengajukan Silsilah Turunan Raja yang dalam Silsilah tersebut telah tercantum Tanda Tangan Raja dan Stempel Kerajaan bagi para Pangeran yang berderajat darah Mattola hingga minimal derajat darahnya Cera’ tapi dalam konteks Cera’ Sengeng Ri Mallinrunge atau Cera’ Pati Matarang (Putera Mahkota berderajat 55% Wija/Bija To-Manurung) sebagai syarat untuk mengikuti pendidikan di HIS, MULO dan OSVIA yang merupakan utusan Raja dalam rangka memahami Administrasi Pemerintahan Modern untuk kembali membangun daerah, “namun yang bersekolah di sekolah tersebut adalah rata-rata seorang pangeran yang berderajat Mattola dan Sangaji”. Terdapat pula sebagian bangsawan tinggi yang tidak menggunakan Istilah Andi pada awalan namanya sehingga keturunannya hari ini tidak menggunakan Andi pada awalan namanya serta ada pula yang tidak memerlukan Stanboom, karena ia tinggal di Lingkungan Istana Kerajaan sebagai Pangeran Kerajaan. Tujuan pemberian Stanboom tersebut juga dalam rangka menandai keluarga-keluarga raja sampai derajat tertentu yang akan menjadi SDM dalam proses pembangunan infrastruktur untuk kepentingan masyarakat umum sehingga Hindia-Belanda benar-benar berusaha mencegah ketersinggungan pihak-pihak dari Elit Kerajaan (ZelfBestuur) agar tidak melakukan perlawanan perang kembali. Tentu Hindia-Belanda sangat mengerti karakter orang-orang dari Sulawesi Selatan sebab itulah fungsi B.F. Matthes sebagai seorang Antropolog. Maka dari itu Istilah Andi adalah inisiasi dari bangsawan-bangsawan Sulawesi Selatan itu sendiri dalam memperjelas strata yang semakin rumit yang seiring dengan perkawinan silang antara para kaum bangsawan dengan kalangan masyarakat umum yang sebelumnya “Pa’-Daeng-ang” juga jamak digunakan karena sudah digunakan juga oleh kalangan dari To Deceng atau kalangan To Baji yang masih keturunan raja namun sudah keluar dari kategori Ana’ Cera’ sehingga bukan lagi disebut bangsawan meskipun awalnya Pa’daengang hanya ditujukan bagi kalangan Ana’ Opu/Arung/Karaeng atau Bangsawan Tinggi. Sebelumnya itu pula padantahun 1850an sudah digunakan istilah “Baso’ (Laki-Laki)/Besse’ (Perempuan) “untuk penggunaan nama pada seorang ANAK PERTAMA atau dijadikan sebagai nama Pa’daengang dari kalangan Ana’ Opu/Arung/Karaeng sebagai Penanda Putera-Puteri Mahkota, lalu pada awal 1900an digunakan Istilah “Bau'” sebagai penanda ia merupakan turunan Raja-Raja dari Raja Luwu, Raja Bugis dan Raja Makassar atau seorang bangsawan yang berderajat Sangaji dan penggunaan nama “Andi” pada awalan namanya serta dalam bentuk singkatan berupa “A.” pada awalan namanaya yang semakin banyak digunakan ditahun 1930an *sehingga merupakan sebuah kekeliruan apabila seorang Antropolog yang bernama Benjamin Frederik Matthes yang pertama memberi istilah “Andi” pada awalan nama kepada para bangsawan Sulawesi bagian selatan dengan mengingat Pangeran-Pangeran dari Luwu-Bugis-Makassar-Mandar tidak punya histori diberi gelar oleh Bangsa Asing yang notabene orang luar. Jadi, tidak semua para Bangsawan Tinggi dari Alumnus OSVIA di era Hindia-Belanda menjadikan Andi pada awalan namanya karena merasa seorang Putera Mahkota atau Pangeran yang ditandai dengan Regalia Kerajaan atau Pusakanya beserta Silsilahnya dan bersyukur dengan Pa’daengang yang digunakannya serta tidak semua pemakai Istilah Andi pada generasi awal merupakan bangsawan tinggi yang beralumni Osvia namun justru ada yang dari Veteran Perang tahun 1905.
Sebagai tambahan sedikit, berbicara tentang Uang Panai’ (Doe’ Panai’ [Makassar]/Doe’ Menre’ [Luwu-Bugis-Mandar]) itu mempunyai hubungan dengan Istilah Ana’ Mattola, Sangaji, Rajeng dan Cera’ karena Uang Panai’ hanya berlaku bagi para turunan Raja-Raja Sulawesi bagian Selatan yang apabila derajat kekentalan darah turunan Raja dari laki-laki lebih rendah dari pada perempuan yang dilamarnya maka laki-laki tersebut baru dikenakan Doe’ Panai’/Menre’ setelah Sompa (Mahar) yang bersifat Wajib sesuai dengan Syariat Islam dan Doe’ Balanca (Kebutuhan Pesta), sebagai contoh; seorang laki-laki bangsawan yang berderajat Rajeng (75%) melamar seorang perempuan bangsawan yang berderajat Sangaji (90%) maka tentu laki-laki tersebut dikenakan Uang Panai’ agar darah bangsawan laki-laki tersebut setara dengan perempuan bangsawan tersebut agar turunannya bisa berdarah 90% bangsawan dan diharapkan anaknya kelak bisa menjadi calon-calon Pemangku Adat, karena 90 darah laki-laki bangsawan + 90 darah perempuanan bangsawan = 180 : 2 = 90 % darah bangsawan anaknya. Jika laki-laki bangsawan setara dengan darah bangsawan perempaun yang dilamarnya atau laki-laki bangsawan tersebut yang lebih kental darah bangsawannya dari pada perempuan yang dilamarnya atau perempuan tersebut tidak mempunyai darah bangsawan maka laki-laki bangsawan tersebut tidak dikenakan Uang Panai’, cukup dengan Sompa (Mahar) dan Doe Balanca untuk perempuan tersebut. Jika seseorang dari kalangan To Deceng/To Baji dan Tosama melamar seorang perempuan dari kalangan yang sama pula maka cukup dengan Sompa (Mahar) dan Doe Balanca tanpa Uang Panai’ karena Uang Panai’ hanya berlaku bagi laki-laki bangsawan yang secara kekentalan darah bangsawannya lebih rendah dari pada perempuan bangsawan yang dilamarnya, namun apabila seseorang dari kalangan To Deceng/To Baji dan To Sama melamar seorang perempuan dari kalangan Ana’ Opu/Arung/Karaeng atau bangsawan maka turunannya bukan lagi kategori bangsawan dan turunannya tersebut tidak bisa menduduki kedudukan sebagai pemangku adat. Hari ini sudah banyak orang-orang yang bukan turunan raja atau telah keluar dari kategori Ana’ Cera’ (Bangsawan Separuh) sehingga dikatakan bukan lagi seorang bangsawan namun menggunakan Uang Panai’ atau memandang Uang Panai’ itu adalah Mahar (Sompa) itu sebuah kekeliruan, namun itu tidak masalah bagi yang telah menikah karena ketidaktahuan sebelumnya. Sesungguhnya apabila terdapat seseorang dari kalangan To Deceng/Tobaji dan To Sama yang paham Pangadereng/Pangadakkang Wari namun memaksakan penggunaan Uang Panai’ kepada perempuan yang dilamarnya padahal ia telah memberi Sompa (Mahar) dan Doe’ Balanca sesungguhnya ia telah mempermalukan dirinya sebagai seorang laki-laki Luwu/Bugis/Makassar/Mandar dan tidak malu menggunakan atribut pernikahan ala Adat Luwu/Bugis/Makassar/Mandar.
Sebagai penutup, NKRI juga adalah pelegowoan tanah kerajaan kedalam wadah NKRI sebagai salah satu bentuk totalitas perlawanan kepada NICA oleh para Raja-Raja Sulawesi bagian selatan yang notabene Para Rajanya mayoritas menggunakan Andi pada awalan namanya.