ruminews.id – Karena otak membangun realitas (secara internal di mental kita), cara pandang manusia tentang kehidupan tidak sepenuhnya objektif. Sebaliknya, cara pandang ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana otak memproses informasi, pengalaman masa lalu, dan konteks saat ini. Dengan kata lain, setiap orang melihat dunia melalui “lensa” unik yang dibentuk oleh faktor biologis, psikologis, dan sosial. Lisa Feldman Barrett, ahli saraf dan psikolog, mengingatkan kita bahwa dunia tidak selalu seperti yang kita “lihat” atau “rasakan”. Apa yang tampak nyata seringkali hanyalah gambaran subjektif yang diciptakan oleh otak kita. Otak membangun realitas dengan cara yang aktif, subjektif, dan sangat bergantung pada prediksi. Realitas yang kita alami bukanlah cerminan langsung dari dunia luar, melainkan hasil konstruksi yang diciptakan oleh otak.
Itulah sebabnya, setiap orang “melihat” realitas (kenyataan hidup) yang berbeda karena otak mereka membangun realitas (kenyataan mental) berdasarkan pengalaman mereka sendiri. Otak kita seperti perpustakaan besar yang menyimpan semua pengalaman hidup kita. Setiap pengalaman yang pernah kita alami di masa lalu menjadi “buku panduan” yang digunakan otak untuk memahami dan memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Misalnya, jika seseorang pernah disakiti dalam sebuah hubungan, otaknya cenderung menyimpan pengalaman itu sebagai “pelajaran” dan menjadi lebih hati-hati ketika bertemu orang baru. Ia mungkin merasa sulit untuk langsung percaya karena otak mencoba melindungi dirinya dari kemungkinan disakiti lagi. Pengalaman masa lalu ini sangat berpengaruh pada cara kita melihat dunia dan berinteraksi dengan orang lain. Kadang, itu membantu kita menghindari masalah, tetapi bisa juga membuat kita terlalu waspada atau cemas, bahkan ketika situasinya sebenarnya aman. Otak membangun realitas berdasarkan apa yang pernah kita alami, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan. Otak menggunakan pengalaman masa lalu untuk membangun model prediksi. Dalam proses ini, otak mengandalkan memori dan pembelajaran untuk memahami situasi baru dan membuat keputusan dengan lebih cepat. Pengalaman masa lalu adalah dasar dari model internal otak, yang memungkinkan otak mempercepat proses pengambilan keputusan tanpa harus menganalisis semua informasi sensorik setiap saat.
Syahril Syam – Self Development.Otak kita tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang kita alami secara pribadi, tetapi juga oleh lingkungan dan budaya tempat kita tumbuh. Budaya seperti peta yang memberi kita panduan tentang apa yang dianggap baik atau buruk, benar atau salah. Norma-norma ini membentuk cara kita memandang dunia dan berinteraksi dengan orang lain. Misalnya, di budaya yang lebih individualistik, seperti di beberapa negara Barat, orang cenderung diajarkan untuk fokus pada pencapaian pribadi dan meraih kesuksesan untuk diri sendiri. Sebaliknya, di budaya yang kolektivistik, seperti banyak negara Asia, nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong lebih ditekankan, sehingga orang lebih sering memikirkan kepentingan kelompok. Selain itu, tempat tinggal dan kondisi sosial juga memengaruhi cara kita melihat realitas. Tinggal di kota besar dengan persaingan tinggi mungkin membuat seseorang lebih mandiri atau kompetitif, sementara tinggal di lingkungan desa yang akrab mungkin membuat seseorang lebih peduli dan terhubung dengan komunitasnya. Semua ini menunjukkan bagaimana lingkungan dan budaya membentuk cara otak kita memandang dunia dan memaknai hidup. Lingkungan tempat kita dibesarkan memengaruhi cara otak menciptakan makna dan emosi.

Otak kita juga membangun realitas berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai yang kita pegang. Keyakinan dan nilai adalah bagian dari “konsep sosial” yang otak gunakan untuk membangun realitas. Emosi dan makna sosial adalah konstruksi otak berdasarkan konsep yang telah dipelajari dari budaya, agama, atau sistem nilai. Keyakinan agama atau spiritualitas, misalnya, sering menjadi panduan dalam menentukan apa yang benar dan salah, serta memberikan tujuan hidup yang lebih besar. Bagi banyak orang, agama membantu mereka melihat kehidupan sebagai sesuatu yang lebih bermakna, seperti sebuah perjalanan menuju keridhaan Tuhan atau ujian untuk kehidupan setelah mati. Selain itu, nilai-nilai pribadi, atau apa yang kita anggap penting dalam hidup, juga sangat memengaruhi cara kita memandang dunia. Misalnya, jika kita sangat menghargai hubungan dengan keluarga, maka kita akan melihat waktu bersama keluarga sebagai hal yang paling berharga. Di sisi lain, seseorang yang lebih fokus pada pencapaian material mungkin menilai hidup berdasarkan karier atau kekayaan. Keyakinan dan nilai-nilai inilah yang menjadi fondasi bagi otak kita dalam menciptakan cara pandang kita tentang hidup; membantu otak memberikan konteks pada informasi sensorik dan menentukan bagaimana kita memahami situasi, termasuk tindakan moral atau spiritual.
Otak juga membangun realitas dari semua informasi yang kita terima setiap hari, seperti apa yang kita lihat, dengar, atau baca. Informasi ini seperti “bahan mentah” yang otak gunakan untuk membuat gambaran tentang dunia. Jika seseorang sering membaca berita yang negatif, otaknya cenderung membangun pandangan bahwa dunia ini penuh dengan bahaya, meskipun kenyataannya ada banyak hal baik juga. Cara kita berhubungan dengan orang lain juga membentuk realitas kita. Pendapat, dukungan, atau penolakan dari orang-orang di sekitar kita bisa memengaruhi cara kita memandang diri sendiri dan dunia. Jika kita sering mendapat dukungan dari keluarga atau teman, kita cenderung lebih percaya diri dan optimis. Tapi jika sering dikritik, pandangan seseorang tentang dirinya sendiri dan dunia bisa menjadi negatif. Otak kita sebenarnya bekerja seperti “peramal” yang selalu mencoba menebak apa yang akan terjadi. Prediksi ini dibuat berdasarkan pengalaman masa lalu, informasi baru, dan kebiasaan. Terkadang, prediksi ini akurat, tetapi bisa juga salah dan membuat kita salah memahami sesuatu. Jika seseorang pernah gagal berbicara di depan umum, otaknya cenderung memprediksi bahwa situasi serupa akan berakhir buruk lagi, meskipun kenyataannya bisa berbeda.
Semua faktor di atas bekerja bersama-sama untuk membentuk cara kita melihat dan memahami dunia. Semuanya seperti kepingan puzzle yang saling melengkapi, menciptakan realitas unik yang dirasakan oleh masing-masing individu. Oleh sebab itu, bisa saja secara usia, seseorang sudah dewasa secara biologis, tetapi secara mental atau emosional, mereka mungkin belum mencapai kedewasaan. Hal ini berkaitan dengan bagaimana otak mereka membangun dan memproses realitas, serta bagaimana mereka mengelola emosi, membuat keputusan, dan menghadapi tantangan hidup. Ketidakdewasaan mental bukan sekadar “kekurangan” individu, tetapi hasil dari cara otak membangun realitas.
Pemahaman ini menunjukkan bahwa kedewasaan mental adalah proses yang dapat ditingkatkan dengan kesadaran, pembelajaran, dan pengalaman baru. Kedewasaan mental dapat berkembang kapan saja jika kita mau berusaha dan belajar. Memahami bahwa realitas adalah konstruksi otak membuat kita lebih sadar untuk membangun pola pikir yang konstruktif, bijaksana, dan penuh empati dalam menjalani kehidupan.
@pakarpemberdayaandiri
Ayo Gabung Komunitas Pakar Pemberdayaan Diri Untuk Pemograman Pikiran dan Tubuh dengan klik: https://tribelio.page/syahril-syam
#thesecretofattractorfactor
#changelimitingbeliefs #pakarpemberdayaandiri #SelfAwarenessTransformation